Arsip

All posts for the day September 6th, 2011

Politik Hukum (Ketetapan/Peraturan)

Published September 6, 2011 by Komunitas Voucher Elektrik

Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani dan atau Latin politicos yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai “segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.” Juga dalam arti “kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu masalah).”

Dalam kamus-kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu yang biasa diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama ditemukan kata sus yang berarti penuh kuman, kutu, atau rusak.
Dalam Al-Quran tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun ini bukan berarti bahwa Al-Quran tidak menguraikan soal politik.

Sekian banyak ulama Al-Quran yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan Al-Quran dan sunnah Nabi sebagai rujukan. Bahkan Ibnu Taimiyah (1263-1328) menamai salah satu karya ilmiahnya dengan As-siyasah Asy-Syar’iyah (Politik Keagamaan).

Uraian Al-Quran tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukm. Kata ini pada mulanya berarti “menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan”. Dari akar kata yang sama terbentuk kata hikmah yang pada mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal makna kata sasa-yasusu-sais siyasat, yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali, dan cara pengendalian.

Hukm dalam bahasa Arab tidak selalu sama artinya dengan kata “hukum” dalam bahasa Indonesia yang oleh kamus dinyatakan antara lain berarti “putusan”. Dalam bahasa Arab kata ini berbentuk kata jadian, yang bisa mengandung berbagai makna, bukan hanya bisa digunakan dalam arti “pelaku hukum” atau diperlakukan atasnya hukum, tetapi juga ia dapat berarti perbuatan dan sifat. Sebagai “perbuatan” kata hukm berarti membuat atau menjalankan putusan, dan sebagai sifat yang menunjuk kepada sesuatu yang diputuskan. Kata tersebut jika dipahami sebagai “membuat atau menjalankan keputusan”, maka tentu pembuatan dan upaya menjalankan itu, baru dapat tergambar jika ada sekelompok yang terhadapnya berlaku hukum tersebut. Ini menghasilkan upaya politik.

Kata siyasat sebagaimana dikemukakan di atas diartikan dengan politik dan juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat.
Di sisi lain terdapat persamaan makna antara pengertian kata hikmat dan politik. Sementara ulama mengartikan hikmat sebagai kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudarat. Pengertian ini sejalan dengan makna kedua yang dikemukakan Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang arti politik, sebagaimana dikutip di atas.

Dalam Al-Quran ditemukan dua puluh kali kata hikmah, kesemuanya dalam konteks pujian. Salah satu di antaranya adalah surat Al-Baqarah (2): 269:

Siapa yang dianugerahi hikmah, maka dia telah dianugerahi kebajikan yang banyak. (QS. Al-Baqarah (2): 269)

WAWASAN POLITIK DALAM AL-QURAN

Dalam Al-Quran ditemukan sekian banyak ayat yang berbicara tentang hukm (Arab). Pengamatan sepintas, boleh jadi mengantarkan orang yang berkata, bahwa ada ayat Al-Quran yang secara tegas mengkhususkannya hanya kepada dan bersumber dari Allah yakni ayat yang menyatakan,

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (QS Al-An’am [6]: 57)

Kelompok Khawarij yang tidak menyetujui kebiiaksanaan Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib pernah mengangkat slogan yang bunyinya sama dengan redaksi penggalan ayat tersebut, tetapi ditanggapi oleh Ali r.a. dengan berkata: “Kalimat yang benar, tetapi yang dimaksudkan adalah batil”.

Memang ada empat ayat Al-Quran yang menggunakan redaksi tersebut, tetapi ada dua hal yang harus digarisbawahi dalam hubungan ini.

Pertama, keempat ayat yang menggunakan redaksi tersebut dikemukakan dalam konteks tertentu. Perhatikan ayat-ayat berikut:

Katakanlah, “Sesungguhnya aku dilarang menyembah apa-apa yang kamu sembah selain Allah”. Katakanlah, “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu. Sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk”. Katakanlah, “Sesungguhnya aku berada di atas bukti yang nyata (Al-Quran). Bukanlah wewenangku untuk menurunkan azab yang kamu tuntut disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi Keputusan yang baik” (QS Al-An’am [6]: 56-57).

Ayat ini seperti terbaca berbicara dalam konteks ibadah serta keputusan menjatuhkan sanksi hukum yang berkaitan dengan wewenang Allah.

Dalam surat Yusuf (12): 40, dan 67 redaksi serupa juga ditemukan Ayat 40 berbicara dalam konteks mengesakan Allah dalam ibadah:

…. Menetapkan hukum hanyalah hak Allah, Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. (QS. Yusuf (12): 40)

Sedangkan ayat 67 berbicara tentang kewajiban berusaha dan keterlibatan takdir Allah.

Dan Yakub berkata: “Wahai anak-anakku, jangan masuk dalam satu pintu gerbang, tetapi masuklah dari pintu gerbang yang berlain-lainan. Namun demikian aku tidak dapat melepaskan kamu barang sedikit pun dari takdir Allah. Keputusan menetapkan sesuatu hanyalah hak Allah Kepada-Nya aku berserah diri dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri. (QS.Yusuf (12): 67)

Ayat keempat dan terakhir menggunakan redaksi yang sedikit berbeda, yang terdapat dalam surat Al-An’am (6): 62,

Kemudian (setelah kematian) mereka dikembalikan kepada (putusan) Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) hanya milik-Nya saja. Dialah pembuat perhitungan yang paling cepat. (QS. Al-An’am (6): 62)

Sebagaimana terbaca, ayat ini berbicara tentang ketetapan hukum yang sepenuhnya berada di tangan Allah sendiri pada hari kiamat.
Di sisi lain, ditemukan sekian banyak ayat yang menisbahkan hukum kepada manusia, baik dalam kedudukannya sebagai nabi maupun manusia biasa. Perhatikan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah (2): 213 yang berbicara tentang diutusnya para nabi, dan diturunkannya kitab suci kepada mereka dengan tujuan –menurut redaksi Al-Quran: Agar masing-masing Nabi memberi putusan tentang perselisihan antar manusia.
Di samping perintah kepada Nabi-nabi, ada juga perintah yang ditujukan kepada seluruh manusia yang berbunyi:

Dan apabita kamu berhukum (menjatuhkan putusan) di antara manusia, maka hendaklah kamu memutuskan dengan adil (QS Al-Nisa’ [4]: 58).

Kedua, kalaupun ayat-ayat yang berbicara tentang kekhususan Allah dalam menetapkan hukum atau kebijaksanaan, dipahami terlepas dari konteksnya, maka kekhususan tersebut bersifat relatif, atau apa yang diistilahkan oleh ulama-ulama Al-Quran dengan hashr idhafi. Dengan memperhatikan keseluruhan ayat-ayat yang berbicara tentang pengembalian keputusan, dapat disimpulkan bahwa Allah telah memberi wewenang kepada manusia untuk menetapkan kebijaksanaan atas dasar pelimpahan dari Allah SWT, dan karena itu manusia yang baik adalah yang memperhatikan kehendak pemberi wewenang itu.

KEKUASAAN POLITIK

Allah SWT adalah pemilik segala sesuatu,

Allah adalah pemilik kerajaan langit dan bumi serta apa yang terdapat antara keduanya (QS Al-Ma-idah [5]: 18).

Demikian satu dan sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang kekuasaan Allah yang meliputi segala sesuatu. KIta juga membaca:

Pemilik hari kebangkitan (QS Al-Fatihah [1]: 4).

Ayat ini boleh jadi mengantar seseorang untuk menduga bahwa Dia bukan pemilik hari-hari duniawi, namun ini tidaklah benar. Ayat Al-Fatihah ini, menekankan bahwa kepemilikannya menyangkut hari kemudian adalah mutlak serta amat nyata, sehingga –ketika itu– jangankan bertindak, berbicara pun hanya berbisik:

Dan rendahkanlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha pemurah sehingga kamu tidak mendengar kecuali bisikan (QS Thaha [20]: 108).

Itu pun harus dengan seizin-Nya, jangankan manusia, malaikat pun demikian, seperti firman-Nya dalam surat Al-Naba’ (78): 38.

Mereka tidak bercakap kecuali seizin Tuhan Yang Maha Pemurah dan perkataan mereka benar (QS Al-Naba’ [78]: 38).

Adapun di dunia, maka di samping Dia melimpahkan sebagian kekuasaan-Nya kepada makhluk, juga karena kekuasaan tersebut tidak sejenis di hari kemudian. Bukankah masih ada manusia di dunia ini yang tidak mengakui kekuasaan Allah dalam perwujudan-Nya.
Dalam konteks kekuasaan politik, Al-Quran memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk menyampaikan pernyataan tegas berikut:

Katakanlah, “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, engkau anugerahkan kekuasaan bagi siapa yang Engkau kehendaki dan mencabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki, dalam tangan-Mu segala kebaikkan, sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Ali Imran [3]: 26).

Dalam konteks ini, Rasul saw setiap habis shalat membaca doa, yang hingga kini masih populer di kalangan umat Islam:

Namun demikian, seperti tersurat dalam ayat di atas, Allah SWT menganugerahkan kepada manusia sebagian kekuasaan itu. Di antara mereka ada yang berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik karena mengikuti prinsip-prinsip kekuasaan politik dan ada pula yang gagal.
Paling tidak, dari dua istilah Al-Quran kita dapat menjumpai uraian tentang kekuasaan politik, serta tugas yang dibebankan Allah kepada manusia. Kedua istilah tersebut adalah istikhlaf dan isti’mar.

a. Istikhlaf

Dalam surat Al-Baqarah (52): 30 dinyatakan

Sesungguhnya Aku (Allah) akan mengangkat di bumi khalifah. (QS. Al-Baqarah (52): 30)

Kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang dalam Al-Quran sebanyak dua kali, yakni ayat di atas, dan surat Shad (38): 26:

Wahai Daud Kami telah menjadikan engkau khalifah di bumi. (QS. Shad (38): 26)

Bentuk jamak dari kata tersebut ada dua macam khulafa’ dan khalaif. Masing-masing mempunyai makna sesuai dengan konteksnya.
Seperti terbaca di atas, ayat-ayat yang berbicara tentang pengangkatan khalifah dalam Al-Quran ditujukan kepada Nabi Adam dan Nabi Daud. Khalifah pertama adalah manusia pertama (Adam) dan ketika itu belum ada masyarakat manusia, berbeda dengan keadaan pada masa Nabi Daud. Beliau menjadi khalifah setelah berhasil membunuh Jalut. Al-Quran dalam hal ini menginformasikan bahwa,

Dan Daud membunuh Jalut. Allah memberinya kekuasaan atas kerajaan, dan hikmah serta mengajarkan apa yang dikehendaki-Nya (QS Al-Baqarah [2]: 251].

Ayat ini menunjukkan bahwa Daud memperoleh kekuasan tertentu dalam mengelola satu wilayah, dan dengan demikian kata khalifah pada ayat yang membicarakan pengangkatan Daud adalah kekhalifahan dalam arti kekuasaan mengelola wilayah atau dengan kata lain kekuasaan politik. Hal ini didukung pula oleh surat Al-Baqarah (2): 251 di atas yang menjelaskan bahwa Nabi Daud a.s. dianugerahi hikmah yang maknanya telah dijelaskan sebelum ini.

Kekhalifahan dalam arti kekuasaan politik dipahami juga dari ayat-ayat yang menggunakan bentuk jamak khulafa’. Perhatikan konteks ayat-ayat surat Al-A’raf (7): 69 dan 74, serta Al-Naml (27): 62.
Menarik juga untuk dibandingkan bahwa ketika Allah menguraikan pengangkatan Adam sebagai khalifah, digunakan bentuk tunggal dalam menunjuk pengangkatan itu,

Sesungguhnya Aku akan mengangkat khalifah di bumi (QS Al-Baqarah [2]: 30).

Sedangkan ketika berbicara tentang pengangkatan Daud sebagai khalifah digunakannya bentuk plural (jamak),

Sesungguhnya Kami telah mengangkat engkau khalifah.

Pengggunaan bentuk tunggal pada Adam cukup beralasan karena ketika itu memang belum ada masyarakat manusia, apalagi ia baru dalam bentuk ide. Perhatikan redaksinya yang menyatakan, “Aku akan”. Sedangkan pada Daud, digunakan bentuk jamak serta past tense (kata kerja masa lampau), “Kami telah” untuk mengisyaratkan adanya keterlibatan selain dari Tuhan (dalam hal ini restu masyarakatnya) dalam pengangkatan tersebut. Di sisi lain dapat dikatakan bahwa mengangkat seseorang sebagai khalifah boleh-boleh saja dilakukan oleh satu oknum, selama itu masih dalam bentuk ide. Tetapi kalau akan diwujudkan di alam nyata maka hendaknya ia dilakukan oieh orang banyak atau masyarakat.

Ayat Sesungguhnya “Aku akan mengangkat khalifah di bumi (QS Al-Baqarah 12]: 31) menginformasikan juga unsur-unsur kekhalifahan sekaligus kewajiban sang khalifah. Unsur-unsur tersebut adalah:
(1) bumi atau wilayah,
(2) khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris), serta
(3) hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah, dan hubungannya dengan pemberi kekuasaan (Allah SWT).

Kekhalifahan itu baru dinilai baik apabila sang khalifah memperhatikan hubungan-hubungan tersebut.

b. Isti’mar

Kata isti’mar dalam bahasa Arab modern diartikan penjajahan; ista’mara adalah menjajah. Makna ini tidak dikenal dalam bahasa Al-Quran, dan memang ia merupakan penamaan yang tidak sejalan dengan kaidah bahasa Arab dan akar katanya.
Dalam surat Hud (11): 61 Allah berfirman:

Dia Allah yang menciptakan kamu dari bumi dan menugaskan kamu memakmurkannya. (QS. Hud (11): 61)

Kata isti’mara pada ayat di atas terdiri dari huruf sin dan ta’ yang dapat berarti meminta seperti dalam kata istighfara, yang berarti meminta maghfirah (ampunan). Dapat juga kedua huruf tersebut berarti “menjadikan” seperti pada kata hajar yang berarti “batu” bila digandengkan dengan sin dan ta’ sehingga terbaca istahjara yang maknanya adalah menjadi batu.

Kata ‘amara dapat diartikan dengan dua makna sesuai dengan objek dan konteks uraian ayat. Surat Al-Tawbah (9): 17 dan 18 yang menggunakan kata kerja masa kini ya’muru, dan ya’muru dalam konteks uraian tentang masjid diartikan memakmurkan masjid dengan jalan membangun, memelihara, memugar, membersihkan, shalat, atau i’tikaf di dalamnya. Sedangkan surat Al-Rum (30): 9 yang mengulangi dua kali kata kerja masa lampau ‘amaru berbicara tentang bumi, diartikan sebagai membangun bangunan, serta mengelolanya untuk memperoleh manfaatnya.

Jika demikian, kata ista’marakum dapat berarti “menjadikan kamu” atau “meminta/menugaskan kamu” mengolah bumi guna memperoleh manfaatnya. Dari satu sisi, penugasan tersebut dapat merupakan pelimpahan kekuasaan politik; di sisi lain karena yang menjadikan dan yang menugaskan itu adalah Allah SWT, maka para petugas dalam menjalankan tugasnya harus memperhatikan kehendak yang menugaskannya.

PRINSIP-PRINSIP KEKUASAAN POLITIK

Seperti terlihat di atas, kekuasaan politik dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manusia. Penganugerahan ini dilakukan melalui satu ikatan perjanjian. Ikatan ini terjalin antara sang penguasa dengan Allah SWT di satu pihak dan dengan masyarakatnya di pihak lain. Perjanjian dengan Allah dinamai oleh-Nya dalam Al-Quran dengan ‘ahd.
Dalam surat Al-Baqarah (2): 124 Nabi Ibrahim a.s. yang diangkat Tuhan menjadi imam bermohon kepada-Nya agar imamah (kepemimpinan) itu diperoleh pula oleh anak cucunya. Kemudian Allah menjawab: “Perjanjianku tidak akan diperoleh oleh orang-orang zalim.”

Adapun perjanjian dengan anggota masyarakat, maka ia dinamai bai’at. Hal ini telah diisyaratkan Quraish Shihab sebelum ini ketika menjelaskan sebab penggunaan kata Kami dalam pengangkatan Nabi Daud a.s. sebagai khalifah, dan diisyaratkan juga oleh Al-Quran terhadap Nabi Muhammad saw yang kepada beliau datang wanita-wanita untuk berbaiat.

Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan beriman untuk mengadakan bai’at (janji setia) bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka (mengadakan pengakuan palsu tentang hubungan seksual dan akibat-akibatnya), dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan ma’ruf, maka terimalah bai’at mereka dan mohonkanlah ampun kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al-Mumtahanah (60): 12).

Perjanjian ini –baik antara sang penguasa dengan masyarakat maupun antara dia dengan Yang Mahakuasa– merupakan amanat yang harus ditunaikan. Dari sini, tidak heran jika perintah taat kepada penguasa (ulil amr) didahului oleh perintah menunaikan amanah. Perhatikan firman Allah berikut:

Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menenrimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amr di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) lagi lebih baik akibatnya (QS Al-Nisa’ [4]: 58-59).

Kedua ayat di atas dinilai oleh para ulama sebagai prinsip-prinsip pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan atau pemerintahan. Bahkan Rasyid Ridha, seorang pakar tafsir, berpendapat bahwa, “Seandainya tidak ada ayat lain yang berbicara tentang hal permerintahan, maka ayat itu telah amat memadai.”

Amanat dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum Muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. Ayat-ayat Al-Quran yang menyangkut hal ini amat banyak, salah satu di antaranya berupa teguran kepada Nabi saw yang hampir saja menyalahkan seorang Yahudi karena terpengaruh oleh pembelaan keluarga seorang pencuri. Dalam konteks inilah turun firman Allah:

Dan janganlah kamu menjadi penentang orang-orang yang tidak bersalah karena (membela) orang-orang yang khianat (QS Al-Nisa’ [4]: 105).

Nabi saw dalam sekian banyak hadisnya memperingatkan hal tersebut, antara lain sabdanya: “(Berhati-hatilah) Doa orang yang teraniaya diterima Allah, walaupun ia durhaka, (karena) kedurhakaannya dipertanggunjawabkan oleh dirinya sendiri”. (HR Ahmad dan Al-Bazzar melalui Abu Hurairah).

Berdampingan dengan amanat yang dibebankan kepada para penguasa, ditekankan kewajiban taat masyarakat terhadap mereka.
Perlu diperhatikan bahwa redaksi ayat di atas menggandengkan kata “taat” kepada Allah dan Rasul, tetapi meniadakan kata itu pada ulil amr.

Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan ulil amr antara kamu (QS Al-Nisa’ [4]: 59).

Tidak disebutkannya kata taat pada ulil amr untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Dalam hal ini dikenal kaidah yang sangat populer yaitu,

Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah).
Tetapi di sisi lain, apabila perintah ulu amr tidak mengakibatkan kemaksiatan, maka ia wajib ditaati, walaupun perintah tersebut tidak disetujui oleh yang diperintah.
Seorang Muslim wajib memperkenankan dan taut menyangkut apa saja (yang diperintahkan ulul amr), suka atau tidak suka, kecuali bila ia diperintahkan berbuat maksiat, maka ketika itu tidak boleh memperkenankan, tidak juga taat (Diriwayathan oleh Bukhari Muslim, dan lain-lain melalui Ibnu Umar).

Taat dalam bahasa Al-Quran berarti “tunduk” menerima secara tulus dan menemani. Ini berarti ketaatan dimaksud bukan sekadar melaksanakan apa yang diperintahkan tetapi harus ikut berpartisipasi dalam upaya-upaya yang dilakukan penguasa politik guna mendukung usaha-usahanya.
Dalam konteks ini, Nabi saw bersabda: Agama adalah nasihat.
Dan ketika para sahabat bertanya, “Untuk siapa?” Nabi saw menjawab antara lain, untuk para pemimpin kaum Muslim dan khalayak ramai mereka (HR Muslim melalui sahabat Nabi Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Addari).
Nasihat yang dimaksud Nabi di sini adalah dukungan positif kepada mereka termasuk kontrol sosial demi suksesnya tugas-tugas yang mereka emban.

Ayat Al-Nisa’ yang dikutip di atas menurut pakar tafsir Al-Maraghi. menjelaskan prinsip-prinsip ajaran agama dalam bidang pemerintahan serta sumber-sumbernya, yaitu:
1. Al-Quran Al-Karim yang ditunjuk oleh perintah agar taat kepada Allah.
2. Sunnah Rasul saw yang ditunjuk oleh kewajiban taat kepada Rasul.
3. Konsensus ulul amr, yakni mereka yang diberi kepercayaan oleh umat seperti para ulama, cerdik cendekia, pemimpin militer, penguasa, petani, industriawan, buruh, wartawan, dan sebagainya. Mereka itulah ulul amr.
4. Mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada kaidah-kaidah umum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah.

TUGAS-TUGAS PARA PENGUASA

Mereka yang mendapat anugerah “menguasai wilayah” diberi berbagai tugas, yang antara lain diuraikan oleh surat Al-Hajj (22): 41:

Orang-orang yang jika Kami kukuhkan kedudukan mereka di muka bumi, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, dan kepada Allah kesudahan segala urusan (QS Al-Hajj [22]: 41).

Mendirikan shalat adalah lambang hubungan baik dengan Allah, sedang “menunaikan zakat” adalah lambang perhatian yang ditujukan kepada masyarakat lemah. “Amr ma’ruf” mencakup segala macam kebajikan, adat istiadat, dan budaya yang sejalan dengan nilai-nilai agama, sedang nahi ‘an al-munkar adalah lawan dari amr ma’ruf.

Dalam rangka melaksanakan tugas-tugasnya, para penguasa dituntut untuk selalu melakukan musyawarah, yakni “bertukar pikiran dengan siapa yang dianggap tepat guna mencapai yang terbaik untuk semua.”

Mereka juga dituntut untuk memanfaatkan semua potensi yang dapat dimanfaatkan guna mencapai hasil maksimal yang diharapkan. Dalam konteks ini, terjadi diskusi di kalangan ulama, berkaitan dengan keterlibatan non-Muslim dalam pemerintahan. Diskusi ini muncul baik ketika menafsirkan kata minkum (dari golongan kamu orang-orang Mukmin) pada surat Al-Nisa (4): 58 yang berbicara tentang ulil amr maupun dalam ayat-ayat lain yang secara tekstual melarang mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliya’ (yang biasa diterjemahkan pemimpin-pemimpin). Misalnya firman Allah: (ayat ini diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama dalam Al-Quran dan Terjemahnya seperti berikut ini)

Hai orang-orang Mukmin, janganlah kamu mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang mengambil mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS Al-Ma-idah [5]: 51).

Pakar tafsir kenamaan Muhammad Rasyid Ridha, sambil menunjuk kepada kenyataan sejarah masa khalifah Umar r.a. dan dinasti-dinasti Umawiyah dan Abbasiah, memahami ayat ini dan ayat-ayat semacamnya secara kontekstual. Pakar ini merujuk kepada firman Allah dalam surat Ali ‘Imran ayat 118 dan menjadikannya sebagai sebab larangan tersebut. Ayat dimaksud adalah:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar golonganmu (non-Muslim, karena) mereka selalu menimbulkan kesulitan bagi kamu, mereka menginginkan yang menyusahkan kamu. Telah nampak dan ucapan mereka kebencian, sedang apa yang disembunyikan oleh dada mereka lebih besar. Sungguh Kami telah jelaskan kepada kamu tanda-tanda (teman dan lawan), jika kamu memahaminya (QS Ali ‘Imran [3]: 1l8).

Ayat di atas tulis Rasyid Ridha, mengandung larangan dan penyebabnya, jadi larangan tersebut adalah larangan bersyarat, sehingga yang dilarang untuk diangkat menjadi pemimpin, atau teman kepercayaan adalah: mereka yang selalu menyusahkan dan menginginkan kesulitan bagi kaum Muslim, serta yang telah nampak dari ucapan mereka kebencian.

Allah SWT yang menurunkan ayat-ayat ini mengetahui perubahan-perubahan sikap pro atau kontra yang dapat terjadi bagi bangsa-bangsa dan pemeluk-pemeluk agama seperti yang terlihat kemudian dari orang-orang Yahudi yang pada awal masa Islam begitu benci terhadap orang Mukmin, namun berbalik membantu kaum Muslim dalam beberapa peperangan seperti di Andalusia atau seperti halnya orang-orang Mesir yang membantu kaum Muslim melawan Romawi.

Dari sini terlihat bahwa Al-Quran tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin kerja sama apalagi mengambil sikap tidak bersahabat. Al-Quran memerintahkan agar setiap umat berpacu dalam kebajikan seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Baqarah (2): 148:

Tiap-tiap umat ada kiblat (arah)-nya masing-masing, maka berpaculah dalam kebajikan-kebajikan. Di mana pun kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

Bahkan Al-Quran sama sekali tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat baik dan memberi sebagian harta mereka kepada siapa pun, selama mereka tidak memerangi dengan motif keagamaan atau mengusir kaum Muslim dan kampung halaman mereka (QS Al-Mumtahanah [60]: 8).

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil/memberi sebagian hartamu, kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yqng berlaku adil (QS Al-Mumtahanah [60]: 8).

Demikian sekilas tentang prinsip-prinsip dasar wawasan Al-Quran tentang politik. Rincian dan setiap kebijaksanaan politik tidak boleh bertentangan dengan prinsip di atas.

Seni (Kesenian) Hukum (Ketetapan/Peraturan)

Published September 6, 2011 by Komunitas Voucher Elektrik

Seni adalah keindahan. Ia merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam manusia didorong oleh kecenderungan seniman kepada yang indah, apa pun jenis keindahan itu. Dorongan tersebut merupakan naluri manusia, atau fitrah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya.

Di sisi lain, Al-Quran memperkenalkan agama yang lurus sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia.

Maka, tetapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Alah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS Al-Rum [30]: 30)

Adalah merupakan satu hal yang mustahil, bila Allah yang menganugerahkan manusia potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan, kemudian Dia melarangnya. Bukankah Islam adalah agama fitrah? Segala yang bertentangan dengan fitrah ditolaknya, dan yang mendukung kesuciannya ditopangnya.
Kemampuan berseni merupakan salah satu perbedaan manusia dengan makhluk lain. Jika demikian. Islam pasti mendukung kesenian selama penampilan lahirnya mendukung fitrah manusia yang suci itu, dan karena itu pula Islam bertemu dengan seni dalam jiwa manusia, sebagaimana seni ditemukan oleh jiwa manusia di dalam Islam.

KEINDAHAN DALAM KONSEP AL-QURAN

Tidak keliru jika dikatakan bahwa inti dari segala uraian Al-Quran adalah memperkenalkan keesaan Allah SWT. Ini terlihat sejak wahyu pertama Al-Quran, ketika wahyu tersebut memerintahkan untuk membaca dengan nama Tuhan yang diperkenalkannya sebagai Maha Pencipta, Maha Pemurah serta Pengajar.

Agar mengenal-Nya –disamping tujuan yang lain– kitab suci Al-Quran mengajak manusia memandang ke seluruh jagat raya, antara lain dari sisi keserasian dan keindahanya.

Tidakkah mereka melihat ke langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikan dan menghiasi, dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun? (QS Qaf [50]: 6)

Setelah Al-Quran berbicara tentang aneka tumbuh-tumbuhan dinyatakannya,

Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman (QS Al-Anam [61: 99)

Allah SWT tidak hanya menciptakan langit, melainkan juga memeliharanya. Bukan hanya hifzhan, tetapi juga zinatan (hiasan yang indah). Begitu pernyataan Allam dalam surat Ash-Shaffat (37): 6-7 dan Fushshilat (41): 12. Laut pun diciptakan antara lain agar dapat diperoleh darinya bukan sekadar daging segar, tetapi juga hiasan yang memperindah penampilan seseorang.

Dan Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan darinya (laut itu) daging yang segar (ikan), dan kamu dapat mengeluarkan darinya (lautan itu) perhiasan yang kamu pakai, serta kamu dapat melihat bahtera yang berlayar padanya … (QS Al-Nahl [16]: 14)

Gunung-gunung dengan ketegarannya, bintang ketika terbenam, matahari saat naik sepenggalan, malam ketika hening dan masih banyak yang lain, semua diungkapkan oleh Al-Quran. Bahkan pemandangan ternak dinyatakannya:

Kamu memperoleh pandangan yang indah ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan (QS Al-Nahl [16]: 6).

Ayat terakhir ini melepaskan kendali kepada manusia yang memandangnya untuk menikmati dan melukiskan keindahan itu, sesuai dengan subjektivitas perasaannya. Begitu kurang lebih uraian para mufasir ketika menganalisis redaksi ayat itu.
Ini berarti bahwa seni dapat dicetuskan oleh perorangan sesuai dengan kecenderungannya, atau oleh kelompok masyarakat sesuai dengan budayanya, tanpa diberi batasan ketat kecuali yang digariskan-Nya pada awal uraian surat Al-Nahl itu, yakni

Mahasuci Allah dari segala kekurangan dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan.

Kehidupan dunia tidak akan berakhir kecuali apabila dunia ini telah sempurna keindahannya, dan manusia telah mengenakan semua hiasannya.

Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia ini adalah seperti air hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanaman-tanaman di bumi di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, serta pemilik-pemiliknya merasa yakin berkuasa atasnya, ketika itu serta merta datang siksa Kami di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan tanaman-tanamannya laksana tanaman yang telah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada orang-orang yang berpikir (QS Yunus [10]: 24).

Bumi berhias sedemikian itu sebagai buah keberhasilan manusia memperindahnya. Tentu saja hal tersebut merupakan hasil dorongan naluri manusia yang selalu mendambakan keindahan.

Kembali kepada keindahan alam raya dan peranannya dalam pembuktian keesaan dan kekuasaan Allah, kita dapat berkata bahwa mengabaikan sisi-sisi keindahan yang terdapat di alam raya ini, berarti mengabaikan salah satu dari bukti keesaan Allah SWT, dan mengekspresikannya dapat merupakan upaya membuktikan kebesaran-Nya, sebagaimana upaya membuktikannya dengan akal pikiran. Seperti ditulis mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar Syaikh Abdul-Halim Mahmud, bahwa Bukti terkuat tentang wujud Tuhan terdapat dalam rasa manusia, bukan akalnya. Kita tidak perlu bertepuk tangan kepada logika yang membuktikan wujud Tuhan, karena dengan logika juga orang membuktikan sebaliknya.

Karena itu pula Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin. bahwa: “Siapa yang tidak berkesan hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati”.

Seorang Muslim dituntut untuk berakhlak dengan akhlak Ilahi sesuai dengan kemampuannya sebagai makhluk. Dalam konteks ini, Nabi saw bersabda, Berakhlaklah dengan akhlak Allah.
Dalam sabda yang lain beliau menyatakan bahwa “Sesungguhnya Allah Mahaindah dan menyenangi keindahan”.

Rasulullah saw sendiri memakai pakaian yang indah, bahkan suatu ketika beliau memperoleh hadiah berupa pakaian yang bersulam benang emas, lalu naik ke mimbar, namun beliau tidak berkhutbah dan kemudian turun. Sahabat-sahabatnya demikian kagum dengan baju itu, sampai mereka memegang dan merabanya, Nabi saw bersabda: Apakah kalian mengagumi baju ini? Mereka berkata, Kami sama sekali belum pernah melihat pakaian lebih indah dari ini. Nabi bersabda: Sesungguhnya saputangan Sad bin Muadz di surga jauh lebih indah dari yang kalian lihat.

Demikian beliau memakai baju yang indah, tetapi beliau tetap menyadari sepenuhnya tentang keindahan surgawi.

APAKAH YANG DISEBUT SENI

Kalau memang seperti itu pandangan Islam tentang kesenian, maka mengapa warna kesenian Islami tidak tampak dengan jelas pada masa Nabi saw dan para sahabatnya. Bahkan mengapa terasa atau terdengar adanya semacam pembatasan-pembatasan yang menghambat perkembangan kesenian?

Boleh jadi sebabnya menurut Sayyid Quthb yang berbicara tentang masa Nabi dan para sahabatnya adalah karena seniman, baru berhasil dalam karyanya jika ia dapat berinteraksi dengan gagasan, menghayatinya secara sempurna sampai menyatu dengan jiwanya, lalu kemudian mencetuskannya dalam bentuk karya seni. Nah, pada masa Nabi dan sahabat beliau, proses penghayatan nilai-nilai Islami baru dimulai, bahkan sebagian mereka baru dalam tahap upaya membersihkan gagasan-gagasan Jahiliah yang telah meresap selama ini dalam benak dan jiwa masyarakat, sehingga saat itu kehati-hatian amat diperlukan baik dari Nabi sendiri sebagai pembimbing maupun dari kaum Muslim lainnya.

Apalagi seperti dikemukakan di atas bahwa apresiasi Al-Quran terhadap seni sedemikian besar.
Berikut ini adalah dua macam seni yang seringkali dinyatakan seolah-olah terlarang, padahal dalam Islam sesungguhnya tidak dilarang.

a. Seni Lukis, Pahat, atau Patung

Al-Quran secara tegas dan dengan bahasa yang sangat jelas berbicara tentang seni pahat, seni lukis, seni patung, seperti berikut ini.

Dalam surat Saba (34): 12-13 diuraikan tentang nikmat yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Sulaiman, yang antara lain adalah,

(Para jin) membuat untuknya (Sulaiman) apa yang dikehendakinya seperti gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung … (QS Saba [34]: 13).

Dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan bahwa patung-patung itu terbuat dari kaca, marmer, dan tembaga, dan konon menampilkan para ulama dan nabi-nabi terdahulu. Di sini, patung-patung tersebut karena tidak disembah maka keterampilan membuatnya serta pemilikannya dinilai sebagai bagian dari anugerah Ilahi.

Dalam Al-Quran surat Ali Imran (3): 48-49 dan Al-Maidah (5): 110 diuraikan mukjizat Nabi Isa a.s. antara lain adalah menciptakan patung berbentuk burung dari tanah liat dan setelah ditiupnya, kreasinya itu menjadi burung yang sebenarnya atas izin Allah.

Aku membuat untuk kamu dari tanah (sesuatu) berbentuk seperti burung kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung seizin Allah (QS Ali Imran [3): 49).

Di sini, karena kekhawatiran kepada penyembahan berhala atau karena faktor syirik tidak ditemukan, maka Allah SWT membenarkan pembuatan patung burung oleh Nabi Isa as.
Kaum Nabi Shaleh terkenal dengan keahlian mereka memahat, sehingga Allah berfirman,

Ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum Ad, dan memberikan tempat bagimu di bumi, Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanah yang datar, dan kamu pahat gunung-gunung untuk dijadikan rumah, maka ingatlah nikmat-nikmat Allah, dan janganlah kamu merajalela di bumi membuat kerusakan (QS Al-Araf [7]: 74).

Yang digarisbawahi di sini bahwa pahat-memahat yang mereka tekuni itu merupakan nikmat Allah SWT yang harus disyukuri, dan harus mengantar kepada pengakuan dan kesadaran akan kebesaran dan keesaan Allah SWT

Apabila seni membawa manfaat bagi manusia, memperindah hidup dan hiasannya yang dibenarkan agama, mengabadikan nilai-nilai luhur dan menyucikannya, serta mengembangkan serta memperhalus rasa keindahan dalam jiwa manusia, maka sunnah Nabi mendukung, tidak menentangnya. Karena ketika itu ia telah menjadi salah satu nikmat Allah yang dilimpahkan kepada manusia. Demikian Muhammad Imarah dalam bukunya Maalim Al-Manhaj Al-Islami yang penerbitannya disponsori oleh Dewan Tertinggi Dakwah Islam, Al-Azhar bekerjasama dengan Al-Mahad Al-Alami lil Fikr Al-Islami (International Institute for Islamic Thought).

b. Seni Suara

Sejarah kehidupan Rasulullah saw membuktikan bahwa beliau tidak melarang nyanyian yang tidak mengantar kepada kemaksiatan. Bukankah sangat populer di kalangan umat Islam, lagu-lagu yang dinyanyikan oleh kaum Anshar di Madinah dalam menyambut Rasulullah saw?

Thalaa al-badru alaina. Min tsaniyat al-wadai Wajabasy syukru alaina. Ma daa lillahi dai Ayyuha al-mabutsu fina. Jita bil amril muthai

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa dua orang wanita mendendangkan lagu yang isinya mengenang para pahlawan yang telah gugur dalam peperangan Badr sambil menabuh gendang. Di antaranya syairnya adalah: “Dan kami mempunyai Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok”. Mendengar ini Nabi saw menegur mereka sambil bersabda: “Adapun yang demikian, maka jangan kalian ucapkan. Tidak ada yang mengetahui (secara pasti) apa yang terjadi esok kecuali Allah”. (Diriwayatkan oleh Ahmad).

Al-Quran sendiri memperhatikan nada dan langgam ketika memilih kata-kata yang digunakannya setelah terlebih dahulu memperhatikan kaitan antara kandungan kata dan pesan yang ingin disampaikannya.
Sebelum seseorang terpesona dengan keunikan atau kemukjizatan kandungan Al-Quran, terlebih dahulu ia akan terpukau oleh beberapa hal yang berkaitan dengan susunan kata-kata dan kalimatnya, antara lain menyangkut nada dan langgamnya.

Walaupun ayat-ayat Al-Quran ditegaskan oleh Allah bukan syair, atau puisi, namun ia terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya. Ini disebabkan karena huruf dari kata-kata yang dipilihnya melahirkan keserasian bunyi, dan kemudian kumpulan kata-kata itu melahirkan pula keserasian irama dalam rangkaian kalimat ayatayatnya.

Bacalah misalnya surat Asy-Syams, atau Adh-Dhuha atau Al-Lahab dan surat-surat lainnya. Atau baca misalnya surat An-Naziat ayat 15-26.

Yang ingin digarisbawahi di sini adalah nada dan irama yang unik itu. Ini berarti bahwa Allah sendiri berfirman dengan menyampaikan kalimat-kalimat yang memiliki irama dan nada. Nada dan irama itu tidak lain dari apa yang kemudian diistilahkan oleh sementara ilmuwan Al-Quran dengan Musiqa Al-Quran (musik Al-Quran). Ini belum lagi jika ditinjau dari segi ilmu tajwid yang mengatur antara lain panjang pendeknya nada bacaan, bahkan belum lagi dan lagu-lagu yang diperkenalkan oleh ulama-ulama Al-Quran. Imam Bukhari, dan Abu Daud meriwayatkan sabda Nabi saw: “Perindahlah Al-Quran dengan suara kamu”.

SENI DAN BUDAYA ASING

Pengertian dari budaya “asing” adalah budaya dari luar daerah kita. Kalau kita berada di Indonesia, berarti budaya asing adalah budaya yang berada dari luar Indonesia, baik itu budaya Barat (Eropa), budaya Arab, budaya India, dsb-nya. Perlu diingat bahwa budaya Arab bukan lantas menjadi budaya Islam. Budaya Islam adalah budaya yang berasal dari Allah SWT.

Islam dapat menerima semua hasil karya manusia selama sejalan dengan pandangan Islam menyangkut wujud alam raya ini. Namun demikian wajar dipertanyakan bagaimana sikap satu masyarakat dengan kreasi seninya yang tidak sejalan dengan budaya masyarakatnya?

Dalam konteks ini, perlu digarisbawahi bahwa Al-Quran memerintahkan kaum Muslim untuk menegakkan kebajikan, memerintahkan perbuatan makruf dan mencegah perbuatan munkar.

Makruf merupakan budaya masyarakat sejalan dengan nilai-nilai agama, sedangkan munkar adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan budaya masyarakat.

Dari sini, setiap Muslim hendaknya memelihara nilai-nilai budaya yang makruf dan sejalan dengan ajaran agama, dan ini akan mengantarkan mereka untuk memelihara hasil seni budaya setiap masyarakat. Seandainya pengaruh –apalagi yang negatif– dapat merusak adat-istiadat serta kreasi seni dari satu masyarakat, maka kaum Muslim di daerah itu harus tampil mempertahankan makruf yang diakui oleh masyarakatnya, serta membendung setiap usaha –dari mana pun datangnya– yang dapat merongrong makruf tersebut. Bukankah Al-Quran memerintahkan untuk menegakkan makruf.

Demikian, sekelumit yang dapat dikemukakan tentang seni dalam wawasan Al-Quran. Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa Al-Quran sangat menghargai segala kreasi manusia, termasuk kreasi manusia yang lahir dari penghayatan rasa manusia terhadap seluruh wujud ini, selama kreasi tersebut sejalan dengan fitrah kesucian jiwa manusia.

SENI ISLAM

Apakah seni suara (nyanyian) harus dalam bahasa Arab? ataukah harus berbicara tentang ajaran Islam? Dengan tegas jawabannya adalah: Tidak.

Dalam konteks ini, Muhammad Quthb menulis, bahwa kesenian Islam tidak harus berbicara tentang Islam. Ia tidak harus berupa nasihat langsung, atau anjuran berbuat kebajikan, bukan juga penampilan abstrak tentang akidah. ‘Seni yang Islami adalah seni yang dapat menggambarkan wujud ini, dengan bahasa yang indah serta sesuai dengan cetusan fitrah. Seni Islam adalah ekspresi tentang keindahan wujud dari sisi pandangan Islam tentang alam, hidup, dan manusia yang mengantar menuju pertemuan sempurna antara kebenaran dan keindahan.

Kita boleh memilih objek dan cara menampilkan seni. Kita boleh menggambarkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat di mana kita berada. Kita boleh memadukannya dengan apa saja, boleh berimajinasi karena lapangan seni adalah semua wujud, tetapi sedikit catatan, yaitu jangan sampai seni yang kita tampilkan bertentangan dengan fitrah tentang wujud itu sendiri. Dan alangkah indahnya seandainya melalui seni tersebut juga mengandung unsur dakwah untuk berbuat kebaikan.

Islam, melalui sumber utamanya Al-Quran, melukiskan dengan sangat indah, kelemahan dan kelebihan manusia.
Allah SWT meyakinkan manusia tentang ajaran-Nya dengan menyentuh seluruh totalitas manusia, termasuk menyentuh hati mereka melalui seni yang ditampilkan Al-Quran, antara lain melalui kisah-kisah nyata atau simbolik yang dipadu oleh imajinasi: melalui gambaran-gambaran konkret dari gagasan abstrak yang dipaparkan dalam bahasa seni yang mencapai puncaknya. Dapat dipastikan bahwa Al-Quran menggunakan seni untuk dakwah, dan dapat pula dipastikan bahwa selama ini, kita belum memanfaatkan secara maksimal apalagi mengembangkan apa yang dicontohkan Al-Quran itu.

Kalau Al-Quran menggambarkan dalam bahasa lisan sikap dan gejolak hati manusia, maka tentu tidak ada salahnya jika sikap dan gejolak hati itu digambarkan dalam bentuk bahasa gerak dan mimik, bersama dengan bahasa lisan. Itulah salah satu contoh pengembangan, karena menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk bukan berarti kita harus menirunya dalam segala hal, tetapi dalam bidang seni misalnya, ia berarti menghayati jiwa bimbingan dan nafas penampilannya, kemudian setelah itu mempersilakan setiap seniman untuk menerjemahkan jiwa dan nafas tersebut dalam kreasi seninya.

Al-Quran misalnya menjadikan kisah sebagai salah satu sarana pendidikan yang sejalan dengan pandangannya tentang alam, manusia, dan kehidupan. Maka pada saat seseorang menggunakan kisah sebagai sarana pendidikan seni dan hiburan dengan tujuan memperhalus budi, mengingatkan tentang jati diri manusia, menggambarkan akibat baik atau buruk dan satu pengamalan, maka pada saat itu, seni yang ditampilkannya adalah seni yang bernafaskan Islam, walaupun di celah-celah kisahnya dilukiskan kelemahan manusia dalam batas dan penampilan yang tidak mendorong kejatuhannya.

Al-Quran dan sunnah misalnya melukiskan alam dengan begitu indah, berdialog, dan bersambung rasa dengan manusia. Dan pada saat kita menikmati suatu lukisan yang hidup, maka kisah itu telah memerankan pandangan Islam tentang alam, tidak jauh berbeda dengan ungkapan Rasulullah saw ketika melukiskannya dengan bahasa lisan: “Gunung ini (Uhud) mencintai kita dan kita pun mencintainya”.

Memang Al-Quran, demikian juga sunnah, sangat memperhatikan sisi hidup pada penggambaran yang diberikannya. Perhatikan bagaimana Al-Quran melukiskan tanah yang gersang sebagai tanah yang mati, dan tanah yang subur sebagai tanah yang hidup (QS Al-Baqarah [2]: 164). Bahkan dengarkan bagaimana Al-Quran melukiskan alam raya ini bagai sesuatu yang hidup dan mampu berdialog.

Kemudian Allah menuju kepada penciptaan langit, dan langit (ketika itu) masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku suka atau tidak suka! Keduanya menjawab, Kami datang dengan suka hati (QS Al-Fushshilat [41]: 11).

Bahkan segala sesuatu hidup bertasbih kepada Allah:

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada-Nya (Allah). Tiada sesuatu pun melainkan bertasbih. dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun. Lagi Maha Pengampun (QS Al-Isra[17]: 44).

Tentu penggambaran alam raya ini sebagai sesuatu yang hidup, bukan sekadar bertujuan seni, tetapi untuk mengingatkan kepada manusia bahwa alam raya adalah sesuatu yang hidup dan memiliki kepribadian. Sehingga manusia perlu menjalin hubungan persahabatan dengannya, atau paling tidak alam raya perlu dipelihara, dijaga kesinambungannya serta dilimpahkan kepadanya rahmat dan kasih sayang.

Ekonomi Hukum (Ketetapan/Peraturan)

Published September 6, 2011 by Komunitas Voucher Elektrik

Masalah-masalah pokok ekonomi menurut para pakar mencakup antara lain:
a. Jenis dan jasa yang diproduksi serta sistemnya.
b. Sistem distribusi (untuk siapa barang jasa itu).
c. Efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi.
d. Inflasi, resesi, dan depresi.
Dan sebagainya.

Melihat luasnya ruang lingkup ekonomi, maka boleh jadi kita dapat menyederhanakan kajian tulisan ini, dengan mengambil alih pandangan sekian pakar yang mendefinisikan ilmu ekonomi sebagai “ilmu mengenai perilaku manusia yang berhubungan dengan kegiatan mendapatkan uang dan membelanjakannya”.

Pendorong bagi kegiatan itu adalah kebutuhan dan keinginan manusia yang tidak mungkin diperoleh secara mandiri. Untuk memenuhinya manusia terpaksa melakukan kerja sama, dan sering kali juga terpaksa harus mengorbankan sebagian keinginannya, atau mengantarnya menetapkan prioritas dalam melakukan pilihan.
Namun ada juga manusia yang sukar mengendalikan keinginannya, sehingga ia terdorong untuk menganiaya, baik terhadap sesama manusia maupun makhluk lain. Dari sini amat diperlukan peraturan serta etika yang mengatur kegiatan ekonomi.

Peraturan dan etika itulah yang membedakan antara ekonomi yang dianjurkan Al-Quran dengan ekonomi lainnya.
Harus diakui bahwa Al-Quran tidak menyajikan rincian, tetapi hanya mengamanatkan nilai-nilai (prinsip-prinsip)-nya saja. Sunnah Nabi dan analisis para ulama dan cendekiawan mengemukakan sebagian dari rincian dalam rangka operasionalisasinya.

UANG DALAM PANDANGAN AL-QURAN

Terlebih dahulu perlu dijelaskan pandangan Al-Quran tentang harta (uang) dan pengembangannya dalam kegiatan ekonomi.

Uang antara lain diartikan sebagai “harta” kekayaan, dan “nilai tukar bagi sesuatu”.

Berbeda dengan dugaan sementara orang yang beranggapan bahwa Islam kurang menyambut baik kehadiran uang, pada hakikatnya pandangan Islam terhadap uang dan harta amat positif. Manusia diperintahkan Allah untuk mencari rezeki bukan hanya yang mencukupi kebutuhannya, tetapi Al-Quran memerintahkan untuk mencari apa yang diistilahkannya fadhl Allah, yang secara harfiah berarti “kelebihan yang bersumber dari Allah”. Salah satu ayat yang menunjuk ini adalah:

Apabila kamu telah selesai shalat (Jumat) maka bertebaranlah di bumi, dan carilah fadhl (kelebihan/rezeki) Allah (QS Al-Jumu’ah [62]: 10).

Kelebihan tersebut dimaksudkan antara lain agar yang memperoleh dapat melakukan ibadah secara sempurna serta mengulurkan tangan bantuan kepada pihak lain yang oleh karena satu dan lain sebab tidak berkecukupan.

(Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya ALlah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (QS. An-Nuur (An-Nur) [24] : ayat 38)
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu … (QS. Al-Baqarah [2] : ayat 198)

Al-Quran memerintahkan siapa pun yang melakukan transaksi hutang piutang, agar mencatat jumlah hutang piutang itu, jangan sampai oleh satu dan lain hal tercecer hilang atau berkurang. Bahkan kalau perlu meminta bantuan notaris dalam pencatatannya.
Kepada notaris serta yang melakukan transaksi itu, hendaknya notaris jangan merugikan orang yang melakukan transaksi terutama dengan mengurangi haknya masing-masing, dan bagi yang melakukan transaksi hendaknya jangan juga merugikan sang notaris dalam waktu, tenaga, dan pikirannya tanpa memberi imbalan yang wajar. Diperintahkan juga agar memilih saksi-saksi dalam hal hutang-piutang, kalau bukan dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang-piutang (ber-muamalah tidak secara tunai) untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan adil. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(QS Al-Baqarah [2]: 282).

Demikian antara lain kandungan pesan ayat yang terpanjang dalam Al-Quran.

Pandangan Al-Quran terhadap uang atau harta seperti yang dikemukakan sekilas ini, bertitik tolak dari pandangannya terhadap naluri manusia. Seperti diketahui, Al-Quran memperkenalkan agama Islam antara lain sebagai agama fitrah dalam arti ajaran-ajarannya sejalan dengan jati diri manusia serta naluri positifnya.

Harta yang banyak oleh Al-Quran disebut “khair/khayr” (QS Al-Baqarah [2): 180), serta dalam ayat-ayat lainnya, yang arti harfiahnya adalah “kebaikan”. Ini bukan saja berarti bahwa harta kekayaan adalah sesuatu yang dinilai baik dan berusaha untuk memperolehnya sebanyak mungkin demi kebaikan, tetapi juga mengisyaratkan bahwa perolehan dan penggunaannya harus pula dengan baik. Tanpa memperhatikan hal-hal tersebut, artinya harta tersebut diperoleh tidak dengan cara yang baik serta tidak digunakan untuk kebaikan atau manusia malas dalam mencari harta (yang baik) sehingga hidupnya hanya untuk dirinya sendiri dan tidak berguna bagi orang lain, dan sebagainya. Maka orang tersebut akan mengalami kesengsaraan dalam hidupnya.

Karena daya tarik uang atau harta seringkali menyilaukan mata dan menggiurkan hati, maka berulang-ulang Al-Quran dan hadis, memperingatkan bahwa harta/uang itu adalah titipan Allah SWT yang wajib digunakan untuk kebaikan untuk diamalkan sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.

Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. Ath-Thalaaq (Ath-Talaq) [65] : ayat 3)

Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (QS. Ar-Ra’d [13] : ayat 22)

Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. Al-A’raaf (Al-A’raf) [7] : ayat 32)

Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. (QS. Al-Baqarah [2] : ayat 172)

Atau kamu meminta upah kepada mereka?”, maka upah dari Tuhanmu adalah lebih baik, dan Dia adalah Pemberi rezeki Yang Paling Baik. (QS. Al-Mu’minuun (Al-Mu’minun) [23] : ayat 72)

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, (QS. Faathir (Fatir) [35] : ayat 29)

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. Ath-Thalaaq (Ath-Talaq) [65] : ayat 7)

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (QS. Al-Baqarah [2] : ayat 245)

PERANAN UANG

Merujuk kepada Mu’jam Al-Muhfaras (Kamus Al-Quran) oleh Fuad Abdul Baqi, kata mal (uang) terulang dalam Al-Quran sebanyak 25 kali (dalam bentuk tunggal) dan amwal (dalam bentuk jamak) sebanyak enam puluh satu kali. Diamati oleh Hassan Hanafi sebagaimana dikemukakan dalam bukunya Ad-Din wa Ats-Tsaurah bahwa kata tersebut mempunyai dua bentuk.

Pertama, tidak dinisbahkan kepada “pemilik”, dalam arti dia berdiri sendiri. Ini –menurutnya– adalah sesuatu yang logis karena memang ada harta yang tidak menjadi objek kegiatan manusia, tetapi berpotensi untuk itu.

Kedua, dinisbahkan kepada sesuatu, seperti “harta mereka”, harta anak-anak yatim, “harta kamu” dan lain-lain. Ini adalah harta yang menjadi objek kegiatan. Dan bentuk inilah yang terbanyak digunakan dalam Al-Quran.

Menurut hasil perhitungan Quraish Shihab, bentuk pertama ditemukan sebanyak 23 kali, sedang bentuk kedua sebanyak 54 kali. Dari jumlah ini yang terbanyak dibicarakan adalah harta dalam bentuk objek, dan ini memberi kesan bahwa seharusnya harta atau uang menjadi objek kegiatan manusia. Kegiatan tersebut adalah aktivitas ekonomi.

Dalam pandangan Al-Quran, uang merupakan modal serta salah satu faktor produksi yang penting, tetapi “bukan yang terpenting”. Manusia menduduki tempat di atas modal disusul sumber daya alam. Pandangan ini berbeda dengan pandangan sementara pelaku ekonomi modern yang memandang uang sebagai segala sesuatu, sehingga tidak jarang manusia atau sumber daya alam dianiaya atau ditelantarkan.

Modal tidak boleh diabaikan, manusia berkewajiban menggunakannya dengan baik, agar ia terus produktif dan tidak habis digunakan. Karena itu seorang wali yang menguasai harta orang-orang yang tidak atau belum mampu mengurus hartanya, diperintahkan untuk mengembangkan harta yang berada dalam kekuasaannya itu dan membiayai kebutuhan pemiliknya yang tidak mampu itu, dari keuntungan perputaran modal, bukan dari pokok modal. Ini dipahami dari redaksi surat Al-Nisa’ (4): 5 yang dikutip di atas, di mana dinyatakan Warzuquhum fiha bukan Warzuquhum minha. “Minha” artinya “dari modal”, sedang “fiha” berarti “di dalam modal”, yang dipahami sebagai ada sesuatu yang masuk dari luar ke dalam (keuntungan) yang diperoleh dari hasil usaha.

Karena itu pula modal tidak boleh menghasilkan dari dirinya sendiri, tetapi harus dengan usaha manusia. Ini salah satu sebab mengapa membungakan uang, dalam bentuk riba dan perjudian, dilarang oleh Al-Quran. Salah satu hikmah pelarangan riba, serta pengenaan zakat sebesar 2,5% terhadap uang (walau tidak diperdagangkan) adalah untuk mendorong aktivitas ekonomi, perputaran dana, serta sekaligus mengurangi spekulasi serta penimbunan. Dalam konteks ini Al-Quran mengingatkan:

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (QS Al-Tawbah [9]. 34)

Ancaman ini disebabkan karena uang/harta seperti dikemukakan sebelum ini dijadikan Allah untuk sarana kehidupan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dan menyimpannya tanpa perputaran, demikian juga penimbunan kebutuhannya, tidak sejalan dengan tujuan tersebut.

Bagi pemilik uang yang tidak atau kurang mampu mengelola uangnya, para ulama mengembangkan cara-cara yang direstui oleh Al-Quran dan Sunnah Nabi, antara lain melalui apa yang dinamai murabahah, mudharabah atau musyarakah
Murabahah adalah pembelian barang menurut rincian yang ditetapkan oleh pengutang, dengan keuntungan dan waktu pembayaran yang disepakati.
Mudharabah adalah bergabungnya tenaga kerja dengan pemilik modal, sebagai mitra usaha dan keuntungan yang dibagi sesuai rasio yang disepakati.
Musyarakah adalah memadukan modal untuk bersama-sama memutarnya, dengan kesepakatan tentang rasio laba yang akan diterima.

Cara-cara ini akan mendorong setiap pemilik modal untuk tidak membiarkan modalnya tersimpan tanpa perputaran. Bukankah uang dijadikan Allah untuk sarana kehidupan dan pemenuhan kebutuhan manusia?

KEBUTUHAN MANUSIA

Kebutuhan biasa diartikan sebagai “hasrat manusia yang perlu dipenuhi atau dipuaskan”.
Kebutuhan bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, namun secara umum ia dapat dibagi dalam tiga jenis sesuai dengan tingkat kepentingannya. Primer (dharuriyat), sekunder (hajiyat), dan tertier (kamaliyat).

Jenis kebutuhan kedua dan ketiga sangat beraneka ragam, dan dapat berbeda-beda dari seorang dengan lainnya, namun kebutuhan primer sejak dahulu hingga kini dapat dikatakan sama dan telah dirumuskan oleh para pakar sebagai kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Al-Quran secara tegas menyebutkan ketiga macam kebutuhan primer itu dan mengingatkan manusia pertama tentang keharusan pemenuhannya sebelum manusia pertama itu menginjakkan kakinya di bumi. Ketika Adam dan istrinya Hawa masih berada di surga, Allah mengingatkan mereka berdua:

Maka Kami berkata, “Hai Adam’ sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga karena (jika demikian) engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak akan lapar di surga, dan tidak pula akan telanjang. Sesungguhnya engkau tidak akan dahaga, tidak pula disengat panas matahari di sana (surga)” (QS Thaha [20]: 117-119).

Yang dimaksud dengan bersusah payah adalah bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka yang di dunia tidak diperoleh tanpa kerja tetapi di surga telah disediakan yaitu pangan atau dalam bahasa ayat di atas “tidak lapar dan tidak dahaga”. Sandang dilukiskan dengan “tidak telanjang”, sedangkan papan diisyaratkan oleh kalimat “tidak disengat panas matahari”.

Sementara ulama menganalisis mengapa peringatan ini ditujukan kepada mereka berdua selaku suami-istri, tetapi pernyataan bersusah payah dikemukakan dalam bentuk tunggal yang ditujukan kepada suami (Adam) saja. Jawabannya menurut mereka adalah, karena kebutuhan sandang, pangan dan papan, merupakan kebutuhan pria dan wanita (suami-istri), tetapi kewajiban bersusah payah mencarinya, berada di pundak suami, sehingga merupakan kewajiban suami untuk mengikhtiarkannya.
Ketiga jenis kebutuhan seperti yang disebut di atas, mengantar manusia berikhtiar untuk memproduksi alat-alat pemenuhannya, baik berupa barang maupun jasa.

AKTIVITAS EKONOMI

Aktivitas antar manusia –termasuk aktivitas ekonomi– terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu’amalah (interaksi). Pesan utama Al-Quran dalam mu’amalah keuangan atau aktivitas ekonomi adalah:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara batil… (QS Al-Baqarah [2]: 188).

Kata “batil” diartikan sebagai “segala sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan dan nilai agama”.
Bukan di sini tempatnya merinci cakupan kata batil, apalagi Al-Quran –sejalan dengan sikapnya terhadap hal-hal yang bukan bersifat ibadah murni– pada dasarnya tidak memberikan perincian. Ini untuk memberikan peluang kepada manusia atau masyarakat yang sifatnya selalu berubah dan berkembang, agar menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat sepanjang sejalan dengan nilai-nilai Islam.

NILAI-NILAI ISLAM

Secara umum dapat dikatakan bahwa nilai-nilai Islam terangkum dalam empat prinsip pokok: tauhid, keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggung jawab.

Tauhid mengantar manusia mengakui bahwa keesaan Allah mengandung konsekuensi keyakinan bahwa segala sesuatu bersumber serta kesudahannya berakhir pada Allah SWT Dialah Pemilik mutlak dan tunggal yang dalam genggaman-Nya segala kerajaan langit dan bumi. Keyakinan demikian mengantar seorang Muslim untuk menyatakan:

Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah semata-mata demi/karena Allah, Tuhan seru sekalian alam.

Prinsip ini menghasilkan “kesatuan-kesatuan” yang beredar dalam orbit tauhid, sebagaimana beredarnya planet-planet tatasurya mengelilingi matahari. Kesatuan-kesatuan itu, antara lain, kesatuan kemanusiaan, kesatuan alam raya, kesatuan dunia dan akhirat, dan lain-lain.
Keseimbangan mengantar manusia Muslim meyakini bahwa segala sesuatu diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi,

Engkau tidak menemukan sedikitpun ketidakseimbangan dalam ciptaan Yang Maha Pengasih. Ulang-ulanglah mengamati. Apakah engkau melihat sedikit ketimpangan? (QS Al-Mulk [67]: 3)

Prinsip ini menuntut manusia bukan saja hidup seimbang serasi, dan selaras dengan dirinya sendiri, tetapi juga menuntunnya untuk menciptakan ketiga hal tersebut dalam masyarakatnya, bahkan alam seluruhnya.

Kehendak bebas adalah prinsip yang mengantar seorang Muslim meyakini bahwa Allah SWT memiliki kebebasan mutlak namun Dia juga menganugerahkan kepada manusia kebebasan untuk memilih dua jalan yang terbentang di hadapannya –baik atau buruk. Manusia yang baik di sisi-Nya adalah manusia yang mampu menggunakan kebebasan itu dalam rangka penerapan tauhid dan keseimbangan di atas. Dari sini lahir prinsip tanggung jawab baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks ini, Islam memperkenalkan konsep fardhu ‘ain dan jardhu kifayah. Yang pertama adalah kewajiban individual yang tidak dapat dibebankan kepada orang lain sedang yang kedua adalah kewajiban yang bila dikerjakan oleh orang lain sehingga terpenuhi kebutuhan yang dituntut, maka terbebaskanlah semua anggota masyarakat dari pertanggungjawaban (dosa). Tetapi bila tidak seorang pun yang mengerjakannya, atau dikerjakan oleh sebagian orang namun belum memenuhi apa yang seharusnya, maka berdosalah setiap anggota masyarakat.

Keempat prinsip yang disebut di atas, harus mewarnai aktivitas setiap Muslim, termasuk aktivitas ekonominya.

Prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi untuk menyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggaman tangannya adalah milik Allah, yang antara lain diperintahkan oleh Pemiliknya agar diberikan (sebagian) kepada yang membutuhkan:

Dan berilah kepada mereka (yang membutuhkan) harta yang diberikan-Nya kepada kamu (QS Al-Nur [24]: 33).

Dalam pandangan agama Islam, harta kekayaan bahkan segala sesuatu adalah milik Allah. Memang jika diamati dengan saksama, hasil-hasil produksi yang dapat menghasilkan uang atau harta kekayaan, tidak lain kecuali hasil rekayasa manusia dari bahan mentah yang telah disiapkan oleh Allah Yang Maha Esa.

Di sisi lain, keberhasilan para pengusaha bukan hanya disebabkan oleh hasil usahanya sendiri, tetapi terdapat juga partisipasi orang lain atau masyarakat. Bukankah para pedagang –misalnya– membutuhkan para pembeli agar hasil produksi atau barang dagangannya terjual? Bukankah petani membutuhkan irigasi demi kesuburan pertaniannya? Bukankah para pengusaha membutuhkan stabilitas keamanan guna lancarnya roda keuangan dan perdagangan? Dan masih banyak lagi yang lain. Kalau demikian, wajar jika Allah memerintahkan manusia untuk menyisihkan sebagian dari apa yang berada dalam genggaman tangannya (“miliknya”) demi kepentingan masyarakat umum. Dari sini agama menetapkan keharusan adanya fungsi sosial bagi harta kekayaan.

Tauhid, yang menghasilkan keyakinan kesatuan dunia dan akhirat, mengantar seorang pengusaha untuk tidak mengejar keuntungan material semata, tetapi keuntungan yang lebih kekal dan abadi.
Prinsip tauhid yang menghasilkan pandangan tentang kesatuan umat manusia mengantar seorang pengusaha Muslim untuk menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia. Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam bukan saja melarang praktek riba dan pencurian, tetapi juga penipuan walau terselubung.

Prinsip keseimbangan mengantar kepada pencegahan segala bentuk monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau satu kelompok. Atas dasar ini pula Al-Quran menolak dengan amat tegas daur sempit yang menjadikan kekayaan hanya berkisar pada orang-orang atau kelompok tertentu.

Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang kaya saja di antara kamu… (QS Al-Hasyr [59]: 7).

Dari sini juga datang larangan penimbunan. Hal ini tercermin pada ayat 34 surat At-Taubah yang memberikan ancaman sedemikian keras kepada para penimbun, serta sabda Nabi Muhammad saw berikut: “Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, dengan tujuan menaikkan harga, maka ia telah berlepas diri dari Allah, dan Allah juga berlepas diri darinya”.

Ayat dan hadis-hadis Nabi seperti di atas oleh sementara pakar dijadikan dasar pemberian wewenang kepada penguasa untuk mencabut hak milik perusahaan spekulatif yang melakukan penimbunan, penyelundupan, dan yang mengambil keuntungan secara berlebihan, karena penimbunan mengakibatkan kenaikan harga yang tidak semestinya.

Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan (QS Al-A’raf [7]: 31).

Sikap berlebih-lebihan dapat menimbulkan kelangkaan barang-barang yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan akibat kenaikan harga-harga.
Dalam rangka memelihara keseimbangan itu, Islam menugaskan Pemerintah untuk mengontrol harga, bahkan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin agar-paling tidak bahan-bahan kebutuhan pokok dapat diperoleh dengan mudah oleh seluruh anggota masyarakat.

Dalam konteks ini, Nabi Muhammad saw menyebutkan bahwa: “Masyarakat berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api” (HR Abu Daud).
Tiga komoditi ini merupakan kebutuhan masyarakat pada masa Nabi saw, dan tentunya setiap masyarakat dapat memiliki kebutuhan-kebutuhan lain, yang dengan demikian masing-masing dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhannya.

Semua hal yang disebut di atas harus dipertanggungjawabkan oleh manusia demi terlaksananya keadilan baik secara individu maupun kolektif.
Dalam perkembangan perekonomian sesudah turunnya Al-Quran telah lahir institusi-institusi serta kondisi yang diperselisihkan keabsahannya dari segi syariat seperti halnya dengan perbankan konvensional. Sementara ulama mempersamakan praktek perbankan itu dengan riba, sementara ulama lainnya mentoleransinya dengan syarat-syarat tertentu.

RIBA

Keraguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan menjadikan para sahabat Nabi, seperti ucap Umar ibn Khaththab, “Meninggalkan sembilan per sepuluh dari yang halal.” Ini disebabkan karena mereka tidak memperoleh informasi yang utuh tentang masalah ini langsung dari Nabi Muhammad saw

Kata riba dari segi bahasa berarti “kelebihan”. Kalau kita hanya berhenti pada makna kebahasaan ini, maka logika yang dikemukakan para penentang riba pada masa Nabi dapat dibenarkan. Firman Allah dengan tegas bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Penegasan ini dikemukakan-Nya tanpa menyebut alasan secara eksplisit, namun dapat dipastikan bahwa pasti ada alasan atau hikmah sehingga ini diharamkan dan itu dihalalkan.

Dalam Al-Quran ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam empat surat, tiga di antaranya turun setelah Nabi hijrah dan satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Upaya memahami apa yang dimaksud dengan riba adalah dengan mempelajari ayat-ayat yang turun di Madinah, atau lebih khusus lagi kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut yaitu adh’afan mudha’afah (berlipat ganda), ma baqiya minarriba (apa yang tersisa dari riba) dan falakum ru’usu amwalikum, la tazlimun wa la tuzlamun.

Sementara ulama, semacam Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, memahami bahwa riba yang diharamkan Al-Quran hanya riba yang berlipat ganda. Lipat ganda yang dimaksud di sini adalah “pelipatgandaan yang berkali-kali”.
Memang pada zaman jahiliah dan awal Islam, apabila seorang debitur yang tidak mampu membayar hutangnya pada saat yang ditentukan, ia meminta untuk ditangguhkan dengan janji membayar berlebihan, demikian berulang-ulang.
Sikap semacam ini amat dikecam oleh Al-Quran, sebagaimana firman Allah:

Bila debitur berada dalam kesulitan, maka hendaklah diberi tangguh hingga ia memperoleh keleluasaan dan menyedekahkan (semua atau sebagian dari piutang) (lebih baik untuknya jika kamu mengetahui) (QS Al-Baqarah [2]: 280).

Pendapat yang memahami riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, tidak diterima oleh banyak ulama. Bukan saja karena masih ada ayat lain yang turun sesudahnya, yang memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba yang belum diambil, tetapi juga karena akhir ayat yang turun tentang riba, memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba. Dan bila mereka mengabaikan hal ini, maka Tuhan mengumumkan perang terhadap mereka sedang

Bila kamu bertobat, maka bagi kamu modalmu, (dengan demikian) Kami tidak menganianya dan tidak pula dianiaya (QS Al-Baqarah [2]: 279).

Menurut Quraish Shihab, inilah kata kunci yang terpenting dalam persoalan riba, dan atas dasar inilah kita dapat menilai transaksi hutang piutang dewasa ini, termasuk praktek-praktek perbankan.

Kesimpulan yang dapat kita peroleh dari ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang riba, demikian pula hadis Nabi dan riwayat-riwayat lainnya adalah, bahwa riba yang dipraktekkan pada masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah hutang, pungutan yang mengandung penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan dan jumlah hutang.

Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan praktek Nabi saw yang membayar hutangnya dengan berlebihan. Dalam konteks pembayaran berlebihan inilah Nabi saw bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang sebaik-baik membayar hutang”. (Diriwayatkan oleh Muslim melalui sahabat Nabi A’bi Rafi’, yakni antara lain “melebihkan”. Hanya tentu harus digarisbawahi bahwa kelebihan pembayaran itu tidak bersyarat pada awal transaksi).

Bagaimana dengan praktek perbankan dewasa ini?
Ulama sejak dahulu hingga kini belum dan besar kemungkinan tidak akan sepakat, karena sikap kehati-hatian tetap menghiasi diri orang-orang yang bertakwa.

Demikian sekelumit dan prinsip-prinsip ajaran Al-Quran tentang ekonomi. Intinya adalah keadilan, kerja sama, serta keseimbangan dan lain-lain. Dan semua itu tercakup dalam larangan melakukan transaksi apa pun yang berbentuk batil, eksploitasi atau segala bentuk penganiayaan.

Pakaian Hukum (Ketetapan/Peraturan)

Published September 6, 2011 by Komunitas Voucher Elektrik

Al-Quran paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian yaitu libas, tsiyab, dan sarabil. Kata libas ditemukan sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukan sebanyak delapan kali, sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat.

Libas pada mulanya berarti penutup (apa pun yang ditutup). Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi, perlu dicatat bahwa ini tidak harus berarti “menutup aurat”, karena cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libas, dan pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya.

Ketika berbicara tentang laut, Al-Quran surat Al-Nahl (16): 14 menyatakan bahwa,

Dan kamu mengeluarkan dan laut itu perhiasan (antara lain mutiara) yang kamu pakai.

Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan pakaian lahir maupun batin, sedangkan kata tsiyab digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari kata tsaub yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide pertamanya.

Ungkapan yang menyatakan, bahwa “awalnya adalah ide dan akhirnya adalah kenyataan”, mungkin dapat membantu memahami pengertian kebahasaan tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan harus dikembalikan kepada ide asal, karena kenyataan adalah cerminan dari ide asal.

IDE DASAR tentang PAKAIAN

Ar-Raghib Al-Isfahani (seorang pakar bahasa Al-Quran) menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide dasar adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Jika bahan-bahan tersebut setelah dipintal kemudian menjadi pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide dasar keberadaannya. Menurut Quraish Shihab, ide dasar juga dapat dikembalikan pada apa yang terdapat dalam benak manusia pertama tentang dirinya.

Al-Quran surat Al-‘Araf (7): 20 menjelaskan peristiwa ketika Adam dan Hawa berada di surga:

Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata, “Tuhan kamu melarang kamu mendekati pohon ini, supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (di surga).”

Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa:

…setelah mereka merasakan (buah) pohon (terlarang) itu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga…

Terlihat jelas bahwa ide dasar yang terdapat dalam diri manusia adalah “tertutupnya aurat”, namun karena godaan setan, aurat manusia terbuka. Dengan demikian, aurat yang ditutup dengan pakaian akan dikembalikan pada ide dasarnya. Wajarlah jika pakaian dinamai tsaub/tsiyab yang berarti “sesuatu yang mengembalikan aurat kepada ide dasarnya”, yaitu tertutup.
Dan ayat di atas juga tampak bahwa ide “membuka aurat” adalah ide setan, dan karenanya “tanda-tanda kehadiran setan adalah “keterbukaan aurat”.

Dalam hal ini Al-Quran mengingatkan:

Wahai putra-putra Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia (telah menipu orang tuamu Adam dan Hawa) sehingga ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya aurat mereka berdua (QS Al-A’raf [7]: 27).

 

Kata ketiga yang digunakan Al-Quran untuk menjelaskan perihal pakaian adalah sarabil. Kamus-kamus bahasa mengartikan kata ini sebagai pakaian, apa pun jenis bahannya. Hanya dua ayat yang menggunakan kata tersebut. Satu di antaranya diartikan sebagai pakaian yang berfungsi menangkal sengatan panas, dingin, dan bahaya dalam peperangan (QS Al-Nahl [16]: 81). Satu lagi dalam surat Ibrahim (14): 50 tentang siksa yang akan dialami oleh orang-orang berdosa kelak di hari kemudian: pakaian mereka dari pelangkin. Dari sini terpahami bahwa pakaian ada yang menjadi alat penyiksa. Tentu saja siksaan tersebut karena yang bersangkutan tidak menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Allah SWT

PAKAIAN DAN FITRAH

Dari ayat yang menguraikan peristiwa terbukanya aurat Adam, dan ayat-ayat sesudahnya, para ulama menyimpulkan bahwa pada hakikatnya menutup aurat adalah fitrah manusia jrang diaktualkan pada saat ia memiliki kesadaran.

Seperti dikemukakan ketika menjelaskan arti tsaub, manusia pada mulanya tertutup auratnya. Ayat yang menguraikan hal ini menggunakan istilah li yubdiya lahuma ma~ wuriya ‘anhuma min sauatihima (untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya) (QS Al-A’raf [7]: 20).

Penggalan ayat itu bukan saja mengisyaratkan bahwa sejak semula Adam dan Hawa tidak dapat saling melihat aurat mereka, melainkan juga berarti bahwa aurat masing-masing tertutup sehingga mereka sendiri pun tidak dapat melihatnya.

Kemudian setan merayu mereka agar memakan pohon terlarang, dan akibatnya adalah aurat yang tadinya tertutup menjadi terbuka, dan mereka menyadari keterbukaannya, sehingga mereka berusaha menutupinya dengan daun-daun surga. Usaha tersebut menunjukkan adanya naluri pada diri manusia sejak awal kejadiannya bahwa aurat harus ditutup dengan cara berpakaian.

Perlu diperhatikan pula kalimat yang dipergunakan Al-Quran untuk menyatakan usaha kedua orang tua kita, “Wa thafiqa yakhshifan ‘alaihima min waraq al-jannah.”

Kata yakhshifan terambil dari kata khashf yang berarti menempelkan sesuatu pada sesuatu yang lain agar menjadi lebih kokoh. Contoh yang dikemukakan oleh pakar-pakar bahasa adalah menempelkan lapisan baru pada lapisan yang ada dari alas kaki, agar lebih kuat dan kokoh.

Adam dan Hawa bukan sekadar mengambil satu lembar daun untuk menutup auratnya (karena jika demikian pakaiannya adalah mini), melainkan sekian banyak lembar agar melebar, dengan cara menempelkan selembar daun di atas lembar lain, sebagai tanda bahwa pakaian tersebut sedemikian tebal, sehingga tidak transparan atau tembus pandang.

Hal lain yang mengisyaratkan bahwa berpakaian atau menutup aurat merupakan fitrah manusia adalah penggunaan istilah “Ya Bani Adam” (Wahai putra-putri Adam) dalam ayat-ayat yang berbicara tentang berpakaian.

Panggilan semacam ini hanya terulang empat kali dalam Al-Quran. Kesan dan makna yang disampaikannya berbeda dengan panggilan ya ayyuhal ladzina amanu yang hanya khusus kepada orang-orang mukmin, atau ya ayyuhan nas yang boleh jadi hanya ditujukan kepada seluruh manusia sejak masa Nabi saw hingga akhir zaman. Panggilan ya Bani Adam jelas tertuju kepada seluruh manusia. Bukankah Adam adalah ayah seluruh manusia?

Hanya empat kali panggilan ya Bani Adam dalam Al-Quran, dan semuanya terdapat dalam surat Al-‘Araf, yaitu:
1. Ayat 26 berbicara tentang macam-macam pakaian yang dianugerahkan Allah.
2. Ayat 27 berbicara tentang larangan mengikuti setan yang menyebabkan terbukanya aurat orang tua manusia (Adam dan Hawa).
3. Ayat 31 memerintahkan memakai pakaian indah pada saat memasuki masjid.
4. Ayat 35 adalah kewajiban taat kepada tuntunan Allah yang disampaikan oleh para rasul-Nya (tentu termasuk tuntunan berpakaian).

Ini menunjukkan bahwa sejak dini Allah SWT telah mengilhami manusia sehingga timbul dalam dirinya dorongan untuk berpakaian, bahkan kebutuhan untuk berpakaian, sebagaimana diisyaratkan oleh surat Thaha (20): 117-118, yang mengingatkan Adam bahwa jika ia terusir dari surga karena setan, tentu ia akan bersusah payah di dunia untuk mencari sandang, pangan, dan papan. Dorongan tersebut diciptakan Allah dalam naluri manusia yang memiliki kesadaran kemanusiaan. Itu sebabnya terlihat bahwa manusia primitif pun selalu menutupi apa yang dinilainya sebagai aurat.

Dari ayat yang berbicara tentang ketertutupan aurat, ditemukan isyarat bahwa untuk merealisasikan hal tersebut, manusia tidak membutuhkan upaya dan tenaga yang berat. Hal ini diisyaratkan oleh bentuk pasif yang dipilih Al-Quran untuk menyebut tertutupnya aurat Adam dan Hawa, yakni ayat 22 surat Al-A’raf yang dikutip pada awal uraian ini: “yang tertutup dan mereka yaitu aurat mereka.”

Menutup aurat tidak sulit, karena dapat dilakukan dengan bahan apa pun yang tersedia, sekalipun selembar daun (asalkan dapat menutupinya).

FUNGSI PAKAIAN

Dari sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian, dapat ditemukan paling tidak ada empat fungsi pakaian.

Al-Quran surat Al-A’raf (7): 26 menjelaskan dua fungsi pakaian:

Wahai putra putri Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan juga (pakaian) bulu (untuk menjadi perhiasan), dan pakaian takwa itulah yang paling baik.

Ayat ini setidaknya menjelaskan dua fungsi pakaian, yaitu penutup aurat dan perhiasan.

Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa ayat di atas berbicara tentang fungsi ketiga pakaian, yaitu fungsi takwa, dalam arti pakaian dapat menghindarkan seseorang terjerumus ke dalam bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhrawi.
Syeikh Muhammad Thahir bin ‘Asyur menjelaskan jalan pikiran ulama yang berpendapat demikian. Ia menulis dalam tafsirnya tentang ayat tersebut:

Libasut taqwa dibaca oleh Imam Nafi’ ibnu Amir, Al-Kisa’i, dan Abu Ja’far dengan nashab (dibaca libasa sehingga kedudukannya sebagai objek penderita). Ini berarti sama dengan pakaian-pakaian lain yang diciptakan, dan tentunya pakaian ini tidak berbentuk abstrak, melainkan nyata. Takwa yang dimaksud di sini adalah pemeliharaan, sehingga yang dimaksud dengannya adalah pakaian berupa perisai yang digunakan dalam peperangan untuk memelihara dan menghindarkan pemakainya dari luka dan bencana lain.

Ada juga yang membaca libasu at-taqwa, sehingga kata tersebut tidak berkedudukan sebagai objek penderita. Ketika itu, salah satu makna yang dikandungnya adalah adanya pakaian batin yang dapat menghindarkan seseorang dari bencana duniawi dan ukhrawi.

Betapapun, ditemukan ayat lain yang menjelaskan fungsi ketiga pakaian, yakni fungsi pemeliharaan terhadap bencana, dan dari sengatan panas dan dingin,

Dia (Allah) menjadikan untuk kamu pakaian yang memelihara kamu dari sengatan panas (dan dingin), serta pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan… (QS Al-Nahl [16]: 81).

Fungsi pakaian selanjutnya disyaratkan oleh Al-Quran surat Al-Ahzab (33): ayat 59 pada jaman peperangan antara orang-orang munafik dan orang-orang mukmin, yang menugaskan Nabi saw agar menyampaikan kepada istri-istrinya, anak-anak perempuannya, serta wanita-wanita mukmin agar mereka mengulurkan (memanjangkan) jilbab mereka sebagai penunjuk identitas pembeda antara seseorang dengan yang lain:

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan perempuan-perempuan mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Terlihat fungsi pakaian sebagai penunjuk identitas pembeda antara seseorang dengan yang lain.

Fungsi Pakaian sebagai Penutup Sau-at (Aurat)

Sau-at terambil dari kata sa-a -yasu-u yang berarti buruk, tidak menyenangkan. Kata ini sama maknanya dengan ‘aurat, yang terambil dari kata ‘ar yang berarti onar, aib, tercela. Keburukan yang dimaksud tidak harus dalam arti sesuatu yang pada dirinya buruk, tetapi bisa juga karena adanya faktor lain yang mengakibatkannya buruk. Tidak satu pun dari bagian tubuh yang buruk karena semuanya baik dan bermanfaat (termasuk aurat).

Tentu saja banyak hal yang sifatnya buruk, masing-masing orang dapat menilai. Agama pun memberi petunjuk tentang apa yang dianggapnya ‘aurat atau sau-at. Dalam fungsinya sebagai penutup, tentunya pakaian dapat menutupi segala yang enggan diperlihatkan oleh pemakai, sekalipun seluruh badannya. Tetapi dalam konteks pembicaraan tuntunan atau hukum agama, aurat dipahami sebagai anggota badan tertentu yang tidak boleh dilihat kecuali oleh orang-orang tertentu.

Bahkan bukan hanya kepada orang tertentu selain pemiliknya, Islam tidak “senang” bila aurat (khususnya aurat besar (kemaluan)) dilihat oleh siapa pun. Bukankah seperti yang dikemukakan terdahulu, bahwa ide dasar aurat adalah “tertutup atau tidak dilihat walau oleh yang bersangkutan sendiri?”

Beberapa hadis menerangkan hal tersebut secara rinci:

Hindarilah telanjang, karena ada (malaikat) yang selalu bersama kamu, yang tidak pernah berpisah denganmu kecuali ketika ke kamar belakang (wc) dan ketika seseorang berhubungan seks dengan istrinya. Maka malulah kepada mereka dan hormatilah mereka (HR At-Tirmidzi).

Dari segi hukum, tidak terlarang bagi seseorang –bila sendirian atau bersama istrinya– untuk tidak berpakaian. Tetapi, ia berkewajiban menutup auratnya, baik aurat besar (kemaluan) maupun aurat kecil, selama diduga akan ada seseorang –selain pasangannya– yang mungkin melihat. Ulama bersepakat menyangkut kewajiban berpakaian sehingga aurat tertutup, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang batas aurat itu. Bagian mana dari tubuh manusia yang harus selalu ditutup.

Imam Malik, Syafi’i, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa lelaki wajib menutup seluruh badannya dari pusar hingga lututnya, meskipun ada juga yang berpendapat bahwa yang wajib ditutup dari anggota tubuh lelaki hanya yang terdapat antara pusat dan lutut yaitu alat kelamin dan pantat.

Wanita, menurut sebagian besar ulama berkewajiban menutup seluruh angggota tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya, sedangkan Abu Hanifah sedikit lebih longgar, karena menambahkan bahwa selain muka dan telapak tangan, kaki wanita juga boleh terbuka. Tetapi Abu Bakar bin Abdurrahman dan Imam Ahmad berpendapat bahwa seluruh anggota badan perempuan harus ditutup.

Salah satu sebab perbedaan ini adalah perbedaan penafsiran mereka tentang maksud firman Allah dalam surat Al-Nur (24): 31:

Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang tampak darinya.

Fungsi Pakaian sebagai Perhiasan

Di bagian terdahulu telah dikemukakan ayat Al-Quran yang memerintahkan umat Islam agar memakai perhiasannya (lebih-lebih ketika berkunjung ke masjid) (QS Al-A’raf [7]: 31).

Perhiasan adalah sesuatu yang dipakai untuk memperelok. Tentunya pemakainya sendiri harus lebih dahulu menganggap bahwa perhiasan tersebut indah, kendati orang lain tidak menilai indah atau pada hakikatnya memang tidak indah.

Al-Quran tidak menjelaskan (apalagi merinci) apa yang disebut perhiasan, atau sesuatu yang “elok”. Sebagian pakar menjelaskan bahwa sesuatu yang elok adalah yang menghasilkan kebebasan dan keserasian.

Bentuk tubuh yang elok adalah yang ramping, karena kegemukan membatasi kebebasan bergerak. Sentuhan yang indah adalah sentuhan yang memberi kebebasan memegang sehingga tidak ada duri atau kekasaran yang mengganggu tangan. Suara yang elok adalah suara yang keluar dari tenggorokan tanpa paksaan atau dihadang oleh serak dan semacamnya. Ide yang indah adalah ide yang tidak dipaksa atau dihambat oleh ketidaktahuan, takhayul, dan semacamnya. Sedangkan pakaian yang elok adalah yang memberi kebebasan kepada pemakainya untuk bergerak. Demikian kurang lebih yang ditulis Abbas Al-Aqqad dalam bukunya Muthal’at fi Al-Kutub wa Al-Hayat.

Harus diingat pula bahwa kebebasan mesti disertai tanggung jawab, karenanya keindahan harus menghasilkan kebebasan yang bertanggung jawab.

Tentu saja kita dapat menerima atau menolak pendapat tersebut, sekalipun sepakat bahwa keindahan adalah dambaan manusia. Namun harus disepakati pula bahwa keindahan sangat relatif; tergantung dari sudut pandang masing-masing penilai. Hakikat ini merupakan salah satu sebab mengapa Al-Quran tidak menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah atau elok.

Wahyu kedua (atau ketiga) yang dinilai oleh ulama sebagai ayat-ayat yang mengandung informasi pengangkatan Nabi Muhammad saw sebagai Rasul antara lain menuntun beliau agar menjaga dan terus-menerus meningkatkan kebersihan pakaiannya (QS Al-Muddatstsir [74]: 4).

Memang salah satu unsur mutlak keindahan adalah kebersihan. <=”” b=””>

Katakanlah! “Siapakah yang mengharamkan perhiasan yang telah Allah keluarkan untuk hamba-hamba-Nya…?” (QS Al-A’raf [7]: 32)

Berhias adalah naluri manusia. Seorang sahabat Nabi pernah bertanya kepada Nabi saw,

Seseorang yang senang pakaiannya indah dan alas kakinya indah (Apakah termasuk keangkuhan?) Nabi menjawab, “Sesungguhnya Allah indah, senang kepada keindahan, sedangkan keangkuhan adalah menolak kebenaran dan menghina orang lain.”

Terdapat sekian banyak riwayat yang menginformasikan bahwa Rasullah saw menganjurkan agar kuku pun harus dipelihara, dan diperindah. Istri Nabi, Aisyah, meriwayatkan bahwa:

Seorang wanita menyodorkan (dengan tangannya) sepucuk surat kepada Nabi dari belakang tirai, Nabi berhenti sejenak sebelum menerimanya, dan bersabda, “Saya tidak tahu, apakah yang (menyodorkan surat) ini tangan lelaki atau perempuan.” Aisyah berkata, “Tangan perempuan,” Nabi kemudian berkata kepada wanita itu, “Seandainya Anda wanita, niscaya Anda memelihara kuku Anda (mewarnainya dengan pacar).”

Demikian Nabi saw menganjurkan agar wanita berhias. Al-Quran memang tidak merinci jenis-jenis perhiasan, apalagi bahan pakaian yang baik digunakan. Meskipun ada sekian ayat yang berbicara tentang penghuni surga dan pakaian mereka. misalnya:

Bagi mereka surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya, di sana mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka di sana adalah sutera (QS Fathir [35]: 33).

 

…Dalam surga mereka dihiasi dengan gelang emas dan mereka memakai pakaian hijau dan sutera halus dan sutera tebal, dalam keadaan mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah… (QS Al-Kahf [18]: 31).

Perlu dicatat, bahwa yang disebutkan di atas tidak dapat dianalogikan dengan nama bahan yang sama di dunia ini. Ketika penghuni surga diberi rezeki berupa buah-buahan, orang menduga bahwa suguhan tersebut sama dengan yang pernah mereka peroleh di dunia. Dugaan ini dibantah oleh Al-Quran surat Al-Baqarah (2): 25 dengan menyatakan, “Mereka diberi yang serupa (tetapi tak sama).” Demikian juga halnya dengan jenis-jenis perhiasan yang telah disebutkan.

Berbicara tentang perhiasan, salah satu yang diperselisihkan para ulama adalah emas dan sutera sebagai pakaian atau perhiasan lelaki.
Dalam Al-Quran, persoalan ini tidak disinggung. Namun beberapa hadis menyebutnya haram

Muhammad bin ‘Asyur, seorang ulama besar kontemporer serta Mufti Tunisia yang telah diakui otoritasnya oleh dunia Islam, menulis dalam bukunya Maqashid Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah, bahwa ucapan dan sikap Rasulullah saw (yang ditulis dalam hadis) tidak selalu harus dipahami sebagai ketetapan hukum. Ada dua belas macam tujuan ucapan dan sikap beliau. Ada larangan yang sifatnya wajib, ada yang tidak wajib, ada yang hanya untuk seseorang. Pemahaman ini diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib yang menyatakan bahwa,
Rasul saw melarang memakai aqsiyah, bercincin emas, membaca ayat Al-Quran ketika sedang rukuk dan sujud dalam shalat. (Ali berkata), “Aku tidak berkata bahwa kamu sekalian dilarang.” Maksudnya bahwa sebagian larangan itu tidak ditujukan kepada seluruh umat, tetapi hanya kepada Ali bin Abi Thalib. Demikian Muhammad Thahir bin ‘Asyur, dalam Magashid Asy-Syariah Al-Islamiyyah’ hlm. 36.

Salah satu dari kedua belas tujuan tersebut adalah al-hadyu wa al-irsyad (tuntunan dan petunjuk). Ini berbeda dengan ketetapan hukum, karena –tulisnya: Boleh jadi Nabi saw memerintah atau melarang, tetapi tujuannya bukan harus melaksanakan itu, melainkan tujuannya adalah tuntunan ke jalan-jalan yang baik (hlm. 32). Dalam rinciannya, ulama besar itu menulis bahwa sebagian tuntunan tersebut berupa nasihat-nasihat.

Sebelum mengakhiri uraian tentang fungsi pakaian sebagai perhiasan, perlu digarisbawahi bahwa salah satu yang harus dihindari dalam berhias adalah timbulnya rangsangan berahi dari yang melihatnya (kecuali suami atau istri) dan atau sikap tidak sopan dari siapa pun. Hal-hal tersebut dapat muncul dari cara berpakaian, berhias, berjalan, berucap, dan sebagainya.

Berhias tidak dilarang dalam ajaran Islam, karena ia adalah naluri manusiawi. Yang dilarang adalah tabarruj al-jahiliyah, satu istilah yang digunakan Al-Quran (QS Al-Ahzab [33]: 33) mencakup segala macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan berahi kepada selain suami istri. Namun memang relatif sulit membuat ukuran/batasan dari “dapat menimbulkan rangsangan berahi” tersebut. Karena ukuran/batasan tersebut untuk masing-masing orang memang berbeda, tergantung pola berpikir orang tersebut, lingkungan dan latar belakangnya. Ada yang hanya melihat telapak tangan saja sudah menimbulkan berahi, ada yang melihat seseorang berjalan dengan tegap justru menimbulkan berahi, ada yang melihat “aurat besar” (kelamin) tidak terpengaruh sama sekali, dsb. Sehingga terpulang kepada masing-masing orang, kemampuannya mengendalikan diri, serta ketakwaannya kepada Allah SWT.

Fungsi Pakaian sebagai PERLINDUNGAN (TAKWA)

Di atas telah dikemukakan bahwa salah satu fungsi pakaian adalah “perlindungan”. Bahwa pakaian tebal dapat melindungi seseorang dari sengatan dingin, dan pakaian yang tipis dari sengatan panas, bukanlah hal yang perlu dibuktikan. Yang demikian ini adalah perlindungan secara fisik.

Di sisi lain, pakaian memberi pengaruh psikologis bagi pemakainya. Itu sebabnya sekian banyak negara mengubah pakaian militernya, setelah mengalami kekalahan militer. Bahkan Kemal Ataturk di Turki, melarang pemakaian tarbusy (sejenis tutup kepala bagi pria), dan memerintahkan untuk menggantinya dengan topi ala Barat, karena tarbusy dianggapnya mempengaruhi sikap bangsanya serta merupakan lambang keterbelakangan.

Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat merasakan pengaruh psikologis dari pakaian jika kita ke pesta. Apabila mengenakan pakaian buruk, atau tidak sesuai dengan situasi, maka pemakainya akan merasa rikuh, atau bahkan kehilangan kepercayaan diri, sebaliknya pun demikian.

Kaum sufi, sengaja memakai shuf (kain wol) yang kasar agar dapat menghasilkan pengaruh positif dalam jiwa mereka.

Memang, harus diakui bahwa pakaian tidak menciptakan santri, tetapi dia dapat mendorong pemakainya untuk berperilaku seperti santri atau sebaliknya berperilaku seperti setan, tergantung dari cara dan model pakaiannya. Pakaian terhormat, mengundang seseorang untuk berperilaku serta mendatangi tempat terhormat, sekaligus mencegahnya ke tempat-tempat yang tidak senonoh. Namun harus juga diakui, banyak orang yang sesungguhnya berperilaku seperti setan, dan dia menutupinya dengan pakaian agar nampak seolah-olah seperti santri. Dan memang semua bergantung dari niat dan ketakwaan masing-masing orang ketika berpakaian.

Bila seseorang berpakaian tertentu dengan niat takwa kepada Allah SWT atau minimal dengan niat agar berpengaruh positif pada dirinya, maka pakaian tersebut merupakan bagian dari ibadahnya untuk bertakwa kepada Allah SWT, dan akan berpengaruh positif kepada perilakunya.
Demikian juga sebaliknya, bila seseorang berpakaian tertentu dengan niat agar “nampak” terlihat seolah-olah santri, bukan dengan niat takwa kepada Allah SWT, maka pakaian tersebut justru akan memberikan dampak negatif terhadapnya, dan hatinya cenderung akan semakin tertutup karena semakin terbiasa membohongi Allah SWT tanpa rasa takut.

Fungsi perlindungan bagi pakaian dapat juga diangkat untuk pakaian ruhani, libas at-tagwa. Benang atau serat-seratnya adalah tobat, sabar, syukur, qana’ah, ridha, dan sebagainya.

Iman itu telanjang, pakaiannya adalah takwa. Demikian sabda Nabi Muhammad saw.

SEPUTAR AYAT AL-NUR DAN AL-AHZAB

Wanita-wanita Muslim, pada awal Islam di Madinah, memakai pakaian yang sama bentuknya dengan pakaian-pakaian yang dipakai oleh wanita-wanita disana pada umumnya. Mereka secara umum memakai pakaian yang dinamakan jilbab (baju kurung yang dilengkapi dengan kerudung penutup kepala) tetapi leher dan dada mereka mudah terlihat, bahkan kadang punggung mereka juga terlihat, atau perut mereka terlihat. Keadaan semacam itu digunakan oleh orang-orang munafik untuk menggoda dan mengganggu wanita-wanita termasuk wanita Mukminah. Ini tentu disebabkan karena ketika itu identitas mereka sebagai wanita Muslimah tidak terlihat dengan jelas. Nah, dalam situasi yang demikian turunlah petunjuk Allah kepada Nabi yang menyatakan:

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuan dan perempuan-perempuan mukmin agar mengulurkan atas diri mereka jilbab-jilbab mereka. Yang demikian itu menjadikan mereka lebih mudah untuk dikenal (sebagai wanita Muslimah) sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al-Ahzab [33]: 59).

Penjelasan serupa tentang pakaian ditemukan pada surat Al-Nur (24): 31,

Katakanlah, kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan menjaga kehormatan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang tampak darinya. Hendaklah mereka mengulurkan/menutupkan kain kudung kedadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau mertua mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita, atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.

Surat Al-Nur (24): 31 di atas, kalimat-kalimatnya cukup jelas. Tetapi yang paling banyak menyita perhatian ulama tafsir adalah larangan menampakkan zinah (hiasan) yang dikecualikan oleh ayat di atas dengan menggunakan redaksi illa ma zhahara minha [kecuali (tetapi) apa yang tampak darinya].

Mereka sepakat menyatakan bahwa zinah berarti hiasan (bukan zina yang artinya hubungan seks yang tidak sah); sedangkan hiasan adalah segala sesuatu yang digunakan untuk memperelok, baik pakaian penutup badan, emas dan semacamnya maupun bahan-bahan make up.
Tetapi apa yang dimaksud dengan pengecualian itu? Inilah yang mereka bahas secara panjang lebar sekaligus merupakan salah satu kunci pemahaman ayat tersebut.

Ada yang berpendapat bahwa kata illa adalah istisna’ muttashil (satu istilah — dalam ilmu bahasa Arab yang berarti “yang dikecualikan merupakan bagian/jenis dari apa yang disebut sebelumnya”), dan dalam penggalan ayat ini adalah zinah atau hiasan.
Ini berarti ayat tersebut berpesan: “Hendaknya janganlah wanita-wanita menampakkan hiasan (anggota tubuh) mereka kecuali apa yang tampak.”
Redaksi ini, jelas tidak lurus, karena apa yang tampak tentu sudah kelihatan. Jadi, apalagi gunanya dilarang? Karena itu, lahir paling tidak tiga pendapat lain guna lurusnya pemahamam redaksi tersebut.

Pertama, memahami illa dalam arti tetapi atau dalam istilah ilmu bahasa Arab istisna’ munqathi’ dalam arti yang dikecualikan bukan bagian/jenis yang disebut sebelumnya. Ini bermakna: “Janganlah mereka menampakkan hiasan mereka sama sekali; tetapi apa yang tampak (secara terpaksa/bukan sengaja seperti ditiup angin dan lain-lain), maka itu dapat dimaafkan.
Kedua, menyisipkan kalimat dalam penggalan ayat itu. Kalimat dimaksud menjadikan penggalan ayat itu mengandung pesan lebih kurang: “Janganlah mereka (wanita-wanita) menampakkan hiasan (badan mereka). Mereka berdosa jika demikian. Tetapi jika tampak tanpa disengaja, maka mereka tidak berdosa.”

Penggalan ayat –jika dipahami dengan kedua pendapat di atas– tidak menentukan batas bagi hiasan yang boleh ditampakkan, sehingga berarti seluruh anggota badan tidak boleh tampak kecuali dalam keadaan terpaksa.
Tentu saja pemahaman ini, mereka kuatkan pula dengan sekian banyak hadis, seperti sabda Nabi saw kepada Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi melalui Buraidah: Wahai Ali, jangan ikutkan pandangan pertama dengan pandangan kedua. Yang pertama Anda ditolerir, dan yang kedua anda berdosa.

Pemuda, Al-Fadhl bin Abbas, ketika haji Wada’ menunggang unta bersama Nabi saw, dan ketika itu ada seorang wanita cantik, yang ditatap terus-menerus oleh Al-Fadhl. Maka Nabi saw memegang dagu Al-Fadhl dan mengalihkan wajahnya agar ia tidak melihat wanita tersebut secara terus-menerus. Demikian diriwayatkan oleh Bukhari dari saudara Al-Fadhl sendiri, yaitu Ibnu Abbas.
Bahkan penganut pendapat ini merujuk kepada ayat Al-Quran,

Dan apabila kamu meminta sesuatu dan mereka, maka mintalah dari belakang tabir (QS Al-Ahzab 133]: 53).

Ayat ini walaupun berkaitan dengan permintaan sesuatu dari istri Nabi, namun dijadikan oleh ulama penganut kedua pendapat di atas, sebagai dalil pendapat mereka.

Ketiga, memahami “kecuali apa yang tampak” dalam arti yang yang biasa dan atau dibutuhkan keterbukaannya sehingga harus tampak.” Kebutuhan disini dalam arti menimbulkan kesulitan bila bagian badan tersebut ditutup. Mayoritas ulama memahami penggalan ayat tersebut dalam arti ketiga ini. Cukup banyak hadis yang mendukung pendapat ini.

Pakar tafsir Al-Qurthubi, dalam tafsirnya mengemukakan bahwa ulama besar Said bin Jubair, Atha dan Al-Auzaiy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak tangan dan busana yang dipakainya. Sedang sahabat Nabi Ibnu Abbas, Qatadah, dan Miswar bin Makhzamah, berpendapat bahwa yang boleh termasuk juga celak mata, gelang, setengah dari tangan yang dalam kebiasaan wanita Arab dihiasi/diwarnai dengan pacar (yaitu semacam zat klorofil yang terdapat pada tumbuhan yang hijau), anting, cincin, dan semacamnya. Al-Qurthubi juga mengemukakan hadis yang menguraikan kewajiban menutup setengah tangan.

Syaikh Muhammad Ali As-Sais, Guru Besar Universitas Al-Azhar Mesir, mengemukakan dalam tafsirnya-yang menjadi buku wajib pada Fakultas Syariah Al-Azhar bahwa Abu Hanifah berpendapat kedua kaki, juga bukan aurat. Abu Hanifah mengajukan alasan bahwa ini lebih menyulitkan dibanding dengan tangan, khususnya bagi wanita-wanita miskin di pedesaan yang (ketika itu) seringkali berjalan (tanpa alas kaki) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pakar hukum Abu Yusuf bahkan berpendapat bahwa kedua tangan wanita bukan aurat, karena dia menilai bahwa mewajibkan untuk menutupnya menyulitkan wanita.

Dalam ajaran Al-Quran memang kesulitan merupakan faktor yang menghasilkan kemudahan. Secara tegas Al-Quran menyatakan bahwa Allah tidak berkehendak menjadikan bagi kamu sedikit kesulitan pun (QS Al-Ma-idah [5]: 6) dan bahwa Allah menghendaki buat kamu kemudahan bukan kesulitan (QS Al-Baqarah [2): 185).

Pakar tafsir Ibnu Athiyah sebagaimana dikutip oleh Al-Qurthubi berpendapat: “Menurut hemat saya, berdasarkan redaksi ayat, wanita diperintahkan untuk tidak menampakkan dan berusaha menutup segala sesuatu yang berupa hiasan. Pengecualian, menurut hemat saya, berdasarkan keharusan gerak menyangkut (hal-hal) yang mesti, atau untuk perbaikan sesuatu dan semacamnya.”

Kalau rumusan Ibnu Athiyah diterima, maka tentunya yang dikecualikan itu dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan mendesak yang dialami seseorang.
Dalam Al-Quran dari Terjemah-nya susunan Tim Departemen Agama, pengecualian itu diterjemahkan sebagai kecuali yang (biasa) tampak darinya.

PENDAPAT BEBERAPA ULAMA KONTEMPORER TENTANG JILBAB

Di atas –semoga telah tergambar– tafsir serta pandangan ulama-ulama mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan jilbab dan batas aurat wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat tersebut didukung oleh sebagian ulama kontemporer. Namun amanah ilmiah mengundang sebagian ulama (termasuk Quraish Shihab) untuk mengemukakan pendapat yang berbeda –dan yang boleh jadi dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh mayoritas wanita Muslim dewasa ini.

Muhammad Thahir bin Asyur seorang ulama besar dari Tunis, yang diakui juga otoritasnya dalam bidang ilmu agama, menulis dalam Maqashid Al-Syari’ah sebagal berikut: “Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh (dalam kedudukannya sebagai adat) untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.

Bin Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran dan Sunnah Nabi. Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah surat Al-Ahzab (33): 59, yang memerintahkan kaum Mukminah agar mengulurkan jilbabnya. Tulisnya: “Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita Mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu. Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.

Dalam kitab tafsirnya ia menulis bahwa: Cara memakai jilbab berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan wanita dan adat mereka. Tetapi tujuan perintah ini adalah seperti bunyi ayat itu yakni “agar mereka dapat dikenal (sebagai wanita Muslim yang baik) sehingga tidak digangu” (Tafsir At-Tahrir, jilid XXII, hlm. lO).

Tetapi bagaimana dengan ayat-ayat ini, yang menggunakan redaksi perintah?
Jawabannya –yang sering terdengar dalam diskusi– adalah: Bukankah tidak semua perintah yang tercantum dalam Al-Quran merupakan perintah wajib? Pernyataan itu, memang benar. Perintah menulis hutang-piutang (QS Al-Baqarah [2]: 282) adalah salah satu contohnya.

Tetapi bagaimana dengan hadis-hadis yang demikian banyak? Jawabannya pun sama. Bukankah seperti yang dikemukakan oleh Bin Asyur di atas bahwa ada hadis-hadis Nabi yang merupakan perintah, tetapi perintah dalam arti “sebaiknya” bukan seharusnya.

Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka telah melanggar petunjuk agama. Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.

Namun demikian, kehati-hatian amat dibutuhkan, karena pakaian lahir dapat menyiksa pemakainya sendiri apabila ia tidak sesuai dengan bentuk badan si pemakai. Demikian pun pakaian batin. Apabila tidak sesuai dengan jati diri manusia, sebagai hamba Allah, yang paling mengetahui ukuran dan patron terbaik buat manusia.

Sebagai akhir dari uraian tentang wawasan Islam menyangkut pakaian, ada baiknya digarisbawahi dua hal.

Pertama: Al-Quran dan Sunnah secara pasti melarang segala aktivitas –pasif atau aktif– yang dilakukan seseorang bila diduga dapat menimbulkan rangsangan berahi kepada lawan jenisnya. Di sini tidak ada tawar-menawar.

Kedua, Tuntunan Al-Quran menyangkut berpakaian –sebagaimana terlihat dalam surat Al-Ahzab dan Al-Nur– yang dikutip di atas, ditutup dengan ajakan bertobat (QS Al-Nur [24]: 31) dan pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang pada surat Al-Ahzab (33): 59.
Ajakan bertobat agaknya merupakan isyarat bahwa pelanggaran kecil atau besar terhadap tuntunan memelihara pandangan kepada lawan jenis, tidak mudah dihindari oleh seseorang. Maka setiap orang dituntut untuk berusaha sebaik-baiknya dan sesuai kemampuannya. Sedangkan kekurangannya, hendaknya dia mohonkan ampun dari Allah, karena Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang –semoga– mengandung arti bahwa Allah mengampuni kesalahan mereka yang lalu dalam hal berpakaian. Karena Dia Maha Penyayang dan mengampuni pula mereka yang tidak sepenuhnya melaksanakan tuntunan-Nya dan tuntunan Nabi-Nya, selama mereka sadar akan kesalahan dan kekurangannya serta berusaha untuk menyesuaikan diri dengan petunjuk-petunjuk-Nya.

Wa Allahu A’lam.

Makanan Hukum (Ketetapan/Peraturan)

Published September 6, 2011 by Komunitas Voucher Elektrik

Makanan atau tha’am dalam bahasa Al-Quran adalah segala sesuatu yang dimakan atau dicicipi. Karena itu “minuman” pun termasuk dalam pengertian tha’am. Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 249, menggunakan kata syariba (minum) dan yath’am (makan) untuk objek berkaitan dengan air minum.

Kata tha’am dalam berbagai bentuknya terulang dalam Al-Quran sebanyak 48 kali yang antara lain berbicara tentang berbagai aspek berkaitan dengan makanan. Belum lagi ayat-ayat lain yang menggunakan kosa kata selainnya.

Perhatian Al-Quran terhadap makanan sedemikian besar, sampai-sampai menurut pakar tafsir Ibrahim bin Umar Al-Biqa’i, “Telah menjadi kebiasaan Allah dalam Al-Quran bahwa Dia menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha Esa, serta membuktikan hal tersebut melalui uraian tentang ciptaan-Nya, kemudian memerintahkan untuk makan (atau menyebut makanan).”

Lebih jauh dapat dikatakan bahwa Al-Quran menjadikan kecukupan pangan serta terciptanya stabilitas keamanan sebagai dua sebab utama kewajaran beribadah kepada Allah. Begitu antara lain kandungan firman-Nya dalam surat Quraisy (106): 3-4,

Hendaklah mereka menyembah Allah, yang memberi mereka makan sehingga terhindar dari lapar dan memberi keamanan dari segala macam ketakutan.

PERINTAH MAKAN

Perhatikan firman Allah SWT :

Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. (QS. Al-Baqarah [2] : ayat 172)

Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. (QS. An-Nahl [16] : ayat 114)

Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (QS. Al-Baqarah [2] : ayat 57)

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah [2] : ayat 168)

Makan merupakan suatu kewajiban serta perintah Allah SWT, dan tentunya yang dimakan adalah makanan yang halal. Pada saat seseorang berpuasa, kemudian waktu menunjukkan saat berbuka puasa, maka menyegerakan berbuka puasa merupakan hal yang sangat dianjurkan dalam agama Islam, berkaitan dengan perintah makan tersebut. Perintah makan merupakan bagian sekaligus upaya menjalankan kewajiban manusia untuk menjaga kesehatan dirinya.

Bahasa Al-Quran menggunakan kata akala dalam berbagai bentuk untuk menunjuk pada aktivitas “makan”. Tetapi kata tersebut tidak digunakannya semata-mata dalam arti “memasukkan sesuatu ke tenggorokan”, tetapi ia berarti juga segala aktivitas dan usaha. Firman Allah dalam surat Al-An’am (61: 121)

Dan janganlah makan yang tidak disebut nama Allah atasnya (ketika menyembelihnya)

Penggalan ayat ini dipahami oleh Syeikh Abdul Halim Mahmud (mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar) sebagai larangan untuk melakukan aktivitas apa pun yang tidak disertai nama Allah. Ini disebabkan karena kata “makan” di sini dipahami dalam arti luas yakni “segala bentuk aktivitas”. Penggunaan kata tersebut untuk arti aktivitas, seakan-akan menyatakan bahwa aktivitas membutuhkan kalori, dan kalori diperoleh melalui makanan.

Boleh jadi menarik juga untuk dikemukakan bahwa semua ayat yang didahului oleh panggilan mesra Allah untuk ajakan makan, baik yang ditujukan kepada seluruh manusia: Ya ayyuhan nas, kepada Rasul: Ya ayyuhar Rasul, maupun kepada orang-orang mukmin: ya ayyuhal ladzina amanu, selalu dirangkaikan dengan kata halal atau dan thayyibah (baik). Ini menunjukkan bahwa makanan yang terbaik adalah yang memenuhi kedua sifat tersebut. Selanjutnya ditemukan bahwa dari sembilan ayat yang memerintahkan orang-orang Mukmin untuk makan, lima di antaranya dirangkaikan dengan kedua kata tersebut. Dua dirangkaikan dengan pesan mengingat Allah dan membagikan makanan kepada orang melarat dan butuh, sekali dalam konteks memakan sembelihan yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, dan sekali dalam konteks berbuka puasa.

Mengingat Allah dan menyebut nama-Nya (baik ketika berbuka puasa maupun selainnya) dapat mengantar sang Mukmin mengingat pesan-pesan-Nya.

APA YANG HALAL DIMAKAN

Al-Quran menyatakan,

Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-An’aam (Al-An’am) [6] : ayat 119)
Dia (Allah) menciptakan untuk kamu apa yang ada di bumi seluruhnya (QS Al-Baqarah [2]: 29).

 

Dan Dia (Allah) yang telah menundukkan untuk kamu segala yang ada di langit dan di bumi semua bersumber dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).

Bertitik tolak dari ayat-ayat tersebut dan beberapa ayat lain, para ulama berkesimpulan bahwa pada prinsipnya segala sesuatu yang ada di alam raya ini adalah halal untuk digunakan, sehingga makanan yang terdapat didalamnya juga adalah halal. Karena itu Al-Quran bahkan mengecam mereka yang mengharamkan rezeki halal yang disiapkan Allah untuk manusia.

Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepada kamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah, “Apakah Allah memberi izin kepada kamu (untuk melakukan itu) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah?” (QS Yunus [10]: 59).

Pengecualian atau pengharaman harus bersumber dari Allah –baik melalui Al-Quran maupun Rasul– sedang pengecualian itu lahir dan disebabkan oleh kondisi manusia, karena ada makanan yang dapat memberi dampak negatif terhadap jiwa raganya. Atas dasar ini, turun perintah-Nya antara lain dalam surat Al-Baqarah (2): 168,

Wahai seluruh manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Rincian pengecualian itu tidak jarang diperselisihkan oleh para ulama, baik disebabkan oleh perbedaan penafsiran ayatayat, maupun penilaian kesahihan dan makna hadis-hadis Nabi saw

Makanan yang diuraikan oleh Al-Quran dapat dibagi antara lain seperti berikut ini.

1. Makanan Nabati, tidak ditemukan satu ayat pun yang secara eksplisit melarang makanan nabati tertentu. Surat ‘Abasa yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan makanannya menyebutkan sekian banyak jenis tumbuhan yang telah disiapkan Allah untuk kepentingan manusia dan binatang.

Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kunna, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenangan kamu dan untuk binatang ternakmu (QS ‘Abasa [80]: 24-32).

Kalaupun ada tumbuh-tumbuhan tertentu, yang kemudian terlarang, maka hal tersebut termasuk dalam larangan umum memakan sesuatu yang buruk, atau merusak kesehatan.

2. Makanan Hewani, Al-Quran membaginya dalam dua kelompok besar, yaitu yang berasal dari laut dan darat.

Hewan laut yang hidup di air asin dan tawar dihalalkan Allah, Al-Quran surat Al-Nahl (16): 14′ menegaskan:

Dan Dia (Allah) yang menundukkan laut untuk kamu agar kamu dapat memakan darinya daging yang segar (ikan dan sebangsanya);

Bahkan hewan laut/sungai yang mati dengan sendirinya (bangkai) tetap dibolehkan berdasarkan surat Al-Ma-idah [5]: 96:

Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanan yang berasal dari laut, sebagai makanan yang lezat bagi kamu dan orang-orang yang dalam perjalanan.

Buruan laut maksudnya adalah binatang yang diperoleh dengan jalan usaha seperti mengail, memukat, dan sebagainya, baik dari laut, sungai, danau, kolam, dan lain-lain. Sedang kata “makanan yang berasal dari laut” adalah ikan dan semacamnya yang diperoleh dengan mudah karena telah mati sehingga mengapung. Makna ini dipahami dan sejalan dengan penjelasan Rasul saw yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan lain-lain melalui sahabat Nabi Abu Hurairah yang menyatakan tentang laut:

Laut adalah suci airnya dan halal bangkainya.

Ini menurut banyak ulama sejalan juga dengan firman Allah dalam surat Al-Ma-idah (5): 96 tersebut di atas.

Memang, ada ulama yang mengecualikan hewan yang dapat hidup di darat dan di laut, namun pengecualian tersebut diperselisihkan para ulama, apalagi ia bukan datang dari Al-Quran, tetapi riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi saw.

Adapun hewan yang hidup di darat, maka Al-Quran menghalalkan secara eksplisit al-an’am (unta, sapi, dan kambing), dan mengharamkan secara tegas babi. Namun ini bukan berarti bahwa selainnya semua halal atau haram.

Seperti yang diisyaratkan di atas, tentang pengecualian dari makanan yang dihalalkan, dalam soal ini ditemukan perbedaan pendapat ulama tentang hewan-hewan darat yang dikecualikan itu.

Imam Malik misalnya, sangat membatasi pengecualian tersebut, karena berpegang kepada surat Al-An’am (6): 145,

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-An’aam (Al-An’am) [6] : ayat 145).

Ayat ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram dalam batas-batas yang disebut itu, apalagi masih ada ayat-ayat lain yang turun sesudah ayat ini yang juga memberi pembatasan serupa seperti surat Al-Baqarah (2): 173.

Imam Syafi’i –misalnya– berpegang kepada sekian banyak hadis Nabi yang dinilainya tidak bertentangan dengan kandungan ayat tersebut. Karena walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk hashr (pembatasan atau pengecualian), namun itu tidak dimaksud sebagai pengecualian hakiki.

Di sisi lain, penjelasan tentang haramnya babi seperti dikutip di atas adalah karena ia rijs (kotor).

Walaupun ilmuwan belum sepenuhnya mengetahui sisi-sisi rijs (kekotoran) baik lahiriah maupun batiniah yang diakibatkan oleh babi, namun dapat diambil kesimpulan bahwa segala macam binatang yang memiliki sifat rijs tentu saja diharamkan Allah. Di sinilah antara lain fungsi Rasul saw sebagai penjelas kitab suci Al-Quran. Surat Al-A’raf (7): 157 melukiskan Nabi Muhammad saw antara lain sebagai:

Menghalalkan untuk mereka (umatnya) yang baik-baik, dan mengharamkan yang khabits (buruk).

Nah, atas dasar inilah dipertemukan hadis-hadis Nabi yang mengharamkan makanan-makanan tertentu dengan ayat-ayat yang menggunakan redaksi pembatasan di atas. Misalnya hadis yang mengharamkan semua binatang yang bertaring (buas), burung yang memiliki cakar (buas), binatang yang hidup di darat dan di air, dan sebagainya.

Padahal telah jelas dalam ayat-ayat Al-Quran makanan yang diharamkan seperti berikut ini.

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nahl [16] : ayat 115)

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah [2] : ayat 173)

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Maaidah (Al-Maidah) [5] : ayat 3)

Janganlah kamu memakan apa-apa yang tidak disebut nama Allah atasnya, karena yang demikian itu adalah kefasikan (QS Al-An’am [6]: 121).

Pernikahan (Perkawinan) Hukum (Ketetapan/Peraturan)

Published September 6, 2011 by Komunitas Voucher Elektrik

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “nikah” sebagai (1) perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi); (2) perkawinan. Al-Quran menggunakan kata ini untuk makna tersebut, di samping secara majazi diartikannya dengan “hubungan seks”. Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali di Al-Quran. Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti “berhimpun”.

Al-Quran juga menggunakan kata zawwaja dan kata zauwj yang berarti “pasangan” untuk makna di atas. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. Kata tersebut dalam berbagai bentuk dan maknanya terulang tidak kurang dari 80 kali di Al-Quran.

Kata-kata ini, mempunyai implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab kabul (serah terima) pernikahan, sebagaimana akan dijelaskan kemudian.

Pernikahan, atau tepatnya “keberpasangan” merupakan ketetapan Ilahi atas segala makhluk. Berulang-ulang hakikat ini ditegaskan oleh Al-Quran antara lain dengan firman-Nya:

Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari (kebesaran Allah) (QS Al-Dzariyat [51]: 49).
Mahasuci Allah yang telah menciptakan semua pasangan, baik dari apa yang tumbuh di bumi, dan dari jenis mereka (manusia) maupun dari (makhluk-makhluk) yang tidak mereka ketahui (QS Ya Sin [36]: 36).

TUJUAN dan HIKMAH PERNIKAHAN

Kompilasi Hukum Islam merumuskan bahwa tujuan perkawinan (pernikahan) adalah “untuk mewujudkan kehidupan rumahtangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah:, yaitu rumahtangga yang tenteram, penuh kasih sayang, serta bahagia lahir dan batin.
Rumusan ini sesuai dengan firman Allah SWT :

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Ruum (30) : ayat 21)

Tujuan perkawinan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat biologis yang menghalalkan hubungan seksual antara kedua belah pihak, tetapi lebih luas, meliputi segala aspek kehidupan rumah tangga, baik lahiriah maupun batiniah.
Sejalan dengan tujuannya, perkawinan memiliki sejumlah hikmah atau keuntungan bagi orang yang melakukannya. Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (3, Ajaran, Perkawinan halaman 66), serta menurut Sayid Sabiq, ulama fikih kontemporer (I. Istanha, Mesir, 1915) dalam bukunya Fiqh as-Sunnah, mengemukakan sebagai berikut :

1. Dapat menyalurkan naluri seksual dengan cara sah dan terpuji.
Bagi manusia, naluri tersebut sangat kuat dan keras serta menuntut adanya penyaluran yang baik. Jika tidak, dapat mengakibatkan kegoncangan dalam kehidupannya. Dengan perkawinan, kehidupan manusia menjadi segar dan tenteram serta terpelihara dari perbuatan keji dan rendah (QS. Ar-Ruum (30) : ayat 21).

2. Memelihara dan memperbanyak keturunan dengan terhormat, sehingga dapat menjaga kelestarian hidup umat manusia.

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An-Nisa’ (4): ayat 1)

 

Allah menjadikan bagi kamu isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?” (QS. An-Nahl (16): ayat 72)

3. Naluri keibuan dan kebapakan akan saling melengkapi dalam kehidupan rumahtangga bersama anak-anak.
Hubungan itu akan menumbuhkan rasa kasih sayang, sikap jujur, dan keterbukaan, serta saling menghargai satu sama lain sehingga akan meningkatkan kualitas seorang manusia. (QS.30:21, 16:72).

4. Melahirkan organisasi (tim) dengan pembagian tugas/tanggungjawab tertentu, serta melatih kemampuan bekerjasama.
Tugas intern pengaturan rumahtangga termasuk memelihara dan mendidik anak yang umumnya menjadi tugas utama isteri dan tentunya harus bekerjasama dengan suami; mencari nafkah yang menjadi kewajiban suami dapat dibantu oleh istrinya; pengelolaan keuangan yang sebaiknya menjadi bagian dari isteri, namun dengan seijin suami dalam pembelanjaannya. Ini semua meningkatkan sikap disiplin, rajin, kerja keras, syukur, sabar, dan tawakal.

5. Terbentuknya tali kekeluargaan dan silaturahmi antar keluarga, sehingga memupuk rasa sosial dan dapat membentuk masyarakat yang kuat serta bahagia.

BERPASANGAN ADALAH FITRAH

Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita, dan kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya “perkawinan”, dan beralihlah kerisauan pria dan wanita menjadi ketenteraman atau sakinah dalam istilah Al-Quran surat Ar-Rum (30): 21. Sakinah terambil dari akar kata sakana yang berarti diam/tenangnya sesuatu setelah bergejolak. Itulah sebabnya mengapa pisau dinamai sikkin karena ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak, setelah tadinya ia meronta. Sakinah (karena perkawinan) adalah ketenangan yang dinamis dan aktif, tidak seperti kematian binatang.

Guna tujuan tersebut Al-Quran antara lain menekankan perlunya kesiapan fisik, mental, dan ekonomi bagi yang ingin menikah. Walaupun para wali diminta untuk tidak menjadikan kelemahan di bidang ekonomi sebagai alasan menolak peminang: “Kalau mereka (calon-calon menantu) miskin, maka Allah akan menjadikan mereka mampu (berkecukupan) berkat anugerah-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS An-Nur [24]: 32). Yang tidak memiliki kemampuan ekonomi dianjurkan untuk menahan diri dan memelihara kesuciannya “Hendaklah mereka yang belum mampu (kawin) menahan diri (menjaga kesucian dirinya), hingga Allah menganugerahkan mereka kemampuan” (QS An-Nur [24]: 33)

Di sisi lain perlu juga dicatat, bahwa walaupun Al-Quran menegaskan bahwa berpasangan atau kawin merupakan ketetapan Allah bagi makhluk-Nya, dan walaupun Rasul menegaskan bahwa “nikah adalah sunnahnya”, tetapi dalam saat yang sama Al-Quran dan Sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan, lebih-lebih karena masyarakat kadang melakukan praktek-praktek yang berbahaya serta melanggar nilai-nilai kemanusiaan.

SIAPA YANG TIDAK BOLEH DINIKAHI

Al-Quran tidak menentukan secara rinci tentang siapa yang dikawini, tetapi hal tersebut diserahkan kepada selera masing-masing. Meskipun demikian, Nabi Muhammad saw menyatakan : “Biasanya wanita dinikahi karena hartanya, atau keturunannya, atau kecantikannya, atau karena agamanya (akhlaknya). Maka pilihlah yang baik agamanya (akhlaknya), niscaya kamu beruntung.” (Diriwayatkan melalui Abu Hurairah, dikeluarkan oleh Al-Bukhari no.5090, dan Muslim no.1466 ).

Di tempat lain, Al-Quran memberikan petunjuk, bahwa

Laki-laki yang berzina tidak (pantas) mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak pantas dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik (QS Al-Nur [24): 3).

Walhasil, seperti pesan surat Al-Nur (24): 26,

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji. Dan Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).

Al-Quran merinci siapa saja yang tidak boleh dikawini seorang laki-laki.

Diharamkan kepada kamu mengawini ibu-ibu kamu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan juga bagi kamu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan diharamkan juga mengawini wanita-wanita yang bersuami (QS Al-Nisa’ [4]: 23-24).

Ada yang menegaskan bahwa perkawinan antara keluarga dekat, dapat melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan rohani, ada juga yang meninjau dari segi keharusan menjaga hubungan kekerabatan agar tidak menimbulkan perselisihan atau perceraian sebagaimana yang dapat terjadi antar suami istri. Ada lagi yang memandang bahwa sebagian yang disebut di atas, berkedudukan semacam anak, saudara, dan ibu kandung, yang kesemuanya harus dilindungi dari rasa berahi. Ada lagi yang memahami larangan perkawinan antara kerabat sebagai upaya Al-Quran memperluas hubungan antarkeluarga lain dalam rangka mengukuhkan satu masyarakat.

PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA YANG BERBEDA

Al-Quran dalam surat Al-Baqarah (2): 221, melarang perkawinan dengan orang musyrik seperti Firman-Nya,

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. (QS.Al-Baqarah (2): 221)

Larangan serupa juga ditujukan kepada para wali agar tidak menikahkan perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya kepada laki-laki musyrik.

Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman (QS Al-Baqarah [2]: 221).

Namun ada ayat yang membolehkan perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab (penganut agama Yahudi dan Kristen), yakni surat Al-Maidah (51): ayat 5 yang menyatakan,

Dan (dihalalkan pula) bagi kamu (mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang dianugerahi Kitab (suci) sebelum kamu.(QS Al-Ma-idah [5]: 5).

Beberapa ulama menganggap izin tersebut (pada QS. Al- Maidah (5) :5) telah digugurkan oleh surat Al-Baqarah ayat 221 tersebut di atas. Namun, pendapat ini tidak didukung oleh mayoritas sahabat Nabi dan ulama. Mereka tetap berpegang kepada teks ayat yang membolehkan perkawinan semacam itu, dan menyatakan bahwa walaupun aqidah Ketuhanan ajaran Yahudi dan Kristen tidak sepenuhnya sama dengan aqidah Islam, tetapi Al-Quran tidak menamai mereka yang menganut Kristen dan Yahudi sebagai orang-orang musyrik.

Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda itu agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Dengan anggapan bahwa perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan. Memang ayat itu membolehkan perkawinan antara pria Muslim dan perempuan Utul-Kitab (Ahl Al-Kitab), tetapi kebolehan itu bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika itu, tetapi juga karena seorang Muslim mengakui bahwa Isa a.s. adalah Nabi Allah pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang biasanya lebih kuat akidahnya dari wanita (jika beragama Islam) dapat mentoleransi dan mempersilakan Ahl Al-Kitab menganut dan melaksanakan syariat agamanya,

Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku (QS Al-kafirun [109]: 6).

Di sisi lain harus pula dicatat bahwa para ulama yang membolehkan perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, juga berbeda pendapat tentang makna Ahl Al-Kitab dalam ayat ini, serta keberlakuan hukum tersebut hingga kini. Walaupun Quraish Shihab cenderung berpendapat bahwa ayat tersebut tetap berlaku hingga kini terhadap semua penganut ajaran Yahudi dan Kristen, namun yang perlu diingat bahwa Ahl Al-Kitab yang boleh dikawini itu, adalah yang diungkapkan dalam redaksi ayat tersebut sebagai “wal muhshanat minal ladzina utul kitab”. Kata al-muhshnnat di sini berarti wanita-wanita yang selalu menjaga kehormatannya, dan yang sangat menghormati dan mengagungkan Kitab Suci. Makna terakhir ini dipahami dari penggunaan kata utuw yang selalu digunakan Al-Quran untuk menjelaskan pemberian yang agung lagi terhormat. Itu sebabnya ayat tersebut tidak menggunakan istilah Ahl Al-Kitab, sebagaimana dalam ayat-ayat lain, ketika berbicara tentang penganut ajaran Yahudi dan Kristen.

Pada akhirnya betapapun berbeda pendapat ulama tentang boleh tidaknya perkawinan Muslim dengan wanita-wanita Ahl Al-Kitab, namun seperti tulis Mahmud Syaltut dalam kumpulan fatwanya.

Pendapat para ulama yang membolehkan itu berdasarkan kaidah syar’iyah yang normal, yaitu bahwa suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami Muslim (berdasarkan hak kepemimpinan yang disandangnya) untuk mendidik anak-anak dan keluarganya dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan mengawini non-Muslimah yang Ahl Al-Kitab, agar perkawinan itu membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik yang berbeda agama dengannya itu, sang istri dapat lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari dampak perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan beragama, serta hak-haknya yang sempurna, lagi tidak kurang sebaik istri.

Selanjutnya Mahmud Syaltut menegaskan bahwa kalau apa yang dilukiskan di atas tidak terpenuhi (sebagaimana sering terjadi pada masa kini) maka ulama sepakat untuk tidak membenarkan perkawinan itu, termasuk oleh mereka yang tadinya membolehkan.

Kalau seorang wanita Muslim dilarang kawin dengan non-Muslim karena di Al-Quran juga tidak ada ayat yang mendukung diperbolehkannya hal tersebut. Ini dikarenakan kekhawatiran terhadap wanita muslim tersebut menjadi terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan yang berlainan agama dengannya. Hal ini wajar akan terjadi, karena suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri.

POLIGAMI DAN MONOGAMI

Sebelum masa Rosulullah saw, poligami adalah hal yang wajar dilakukan di Timur Tengah (Arab) dan beberapa negara di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.
Dalam lingkungan yang berpoligami, Rosulullah saw melakukan monogami bersama istri tunggalnya Khadijah binti Khuwalid ra, dan itu berlangsung selama 25 tahun, dari tahun 595 M sampai 620 M (sampai Khadijah binti Khuwalid ra meninggal dunia). Saat menikah usia Rasulullah saw adalah 25 tahun sedangkan Khadijah binti Khuwalid ra berusia 40 th.

Pada masa perang, saat itu dibutuhkan perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang, sehingga turunlah surah An-Nisa’ (4): ayat 3 menyatakan,

Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja … (surah An-Nisa’ (4): ayat 3)

Selain turun ayat tersebut, juga turun surah An-Nisa’ (4): ayat 129 menyatakan,

Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, …. (surah An-Nisa’ (4): ayat 129)

Ayat ini menegaskan bahwa sesungguhnya suami tidak akan dapat berlaku adil bila melakukan poligami, dan itu penegasan dari Allah SWT sendiri melalui ayat tersebut. Namun kenapa Allah SWT tetap membuka saluran tersebut, padahal jelas nantinya tidak dapat berlaku adil ?

Disinilah keistimewaan Agama Islam sebagai agama yang universal, karena selalu menyiapkan berbagai “saluran darurat”.
Sehingga saluran poligami tetap dibuka sebagaimana surah An-Nisa ayat 3 tersebut, dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat untuk memberi perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim serta tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman
(Tafsir al-Manar, 4/287).

Pada tahun 620 M (tahun ke 10 kenabian Rosulullah saw) Khadijah binti Khuwalid ra meninggal dunia, dimana 3 hari sebelumnya Abi Talib (pengasuh Rasulullah saat kecil, yang juga ayah Ali bin Abi Thalib ra) meninggal dunia. Umat Islam menyebut tahun ke sepuluh kenabian Muhammad saw itu sebagai tahun kesedihan (Am al-Khuzn). Pada tahun tersebut Rasulullah juga mengalami peristiwa Isra Mikraj.
Dari perkawinan dengan Khadijah binti Khuwalid ra, Nabi saw dikaruniai dua anak laki-laki (Qasim dan Abdullah, yang dijuluki at-Tayyib dan at-Tahir) dan empat anak perempuan (Ruqayyah, Zainab, Ummu Kalsum, dan yang bungsu Fatimah). Qasim meninggal sebelum mencapai umur 2 tahun, sedangkan Abdullah meninggal dalam usia lebih muda lagi. Anak-anak Nabi saw yang masih hidup perempuan semua.

Sepintas mengenai perkawinan anak-anak Nabi Muhammad saw diuraikan berikut ini.
Zainab menikah dengan Abul As bin Rabi’ bin Abdul Syams. Ruqayyah dan Ummu Kalsum masing-masing menikah dengan Utbah dan Utaibah, keduanya anak-anak Abu Lahab. Sesudah kedatangan Islam, Abu Lahab memerintahkan kedua anaknya untuk menceraikan kedua putri Muhammad saw tersebut. Tentu saja Nabi saw cukup sedih dengan kejadian ini. Nabi saw baru terhibur ketika Ruqayyah kemudian dikawini oleh Usman bin Affan, meskipun Ummu Kalsum (adik Ruqayyah) harus menjanda sampai berakhirnya Perang Badr. Setelah Ruqayyah wafat, kemudian Usman bin Affan menikah dengan Ummu Kalsum. Adapun putri bungsu Rasulullah saw, Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Talib.
Anak-anak Nabi Muhammad saw sempat mengalami kedatangan Islam dan mereka memeluk Agama Islam serta ikut hijrah ke Madinah. Kecuali Fatimah, semua anak-anaknya meninggal semasa Muhammad saw masih hidup, Fatimah sendiri meninggal 6 bulan setelah Nabi Muhammad saw wafat.

Sejak Istri Rasulullah saw, Khadijah binti Khuwalid ra wafat, Khalwah istri Usman bin Makhzum memperhatikan berbagai kebutuhan anggota keluarga Nabi saw.
Tahun 623 M (setelah 3 tahun Rasulullah saw menduda), Khalwah menganjurkan Nabi saw agar menikah lagi. Saat itu Muhammad bertanya siapa yang harus ia nikahi ?. Khalwah menyarankan Saudah binti Zam’ah, janda Sakran Umar al-Amiri, seorang sahabat yang pernah membawanya ke Habasyah. Suami-istri Sakran-Saudah termasuk kelompok pengungsi pertama yang pulang kembali ke Mekah dari Habasya, dan Sakran meninggal tidak lama setelah itu.
Karena suaminya (Sakran) meninggal, maka Saudah tidak punya pilihan lain kecuali kembali ke keluarga setelah ditinggal mati suaminya. Keluarga Saudah belum masuk Islam, sehingga apabila Saudah kembali ke-keluarganya, maka ia akan disiksa seperti dialami orang-orang muslim lain yang tidak memiliki perlindungan. Maka Nabi Muhammad saw menyetujui usulan Khalwah untuk menikahi Saudah agar menjadi terlindungi sekaligus terbebaskan dan tidak mengalami penderitaan.

Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (lihat pada Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 108-179). Poligami yang dilakukan Nabi saw untuk melindungi sekaligus membebaskan wanita-wanita tersebut. Realitas bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Hampir seluruh Istri Nabi adalah janda yang ditinggal mati suaminya untuk dilindungi sekaligus dibebaskan, kecuali Aisyah binti Abu Bakar ra.

Dengan menelusuri kitab Jami’ al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), dapat ditemukan bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu.

Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat untuk memberi perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim serta tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).

Dalam sebuah ungkapan Nabi saw menyatakan: “Barangsiapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus” (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Teks-teks hadist terkait poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Namun banyak ulama “cerdik” yang menyelewengkannya dengan hanya mengambil sepotong-sepotong teks untuk pembenaran perbuatannya atau pembenaran perbuatan beberapa orang tertentu yang berpengaruh baginya.

Nabi Muhammad saw dengan sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib ra, dan teks hadis ini jarang disampaikan sebagian ulama, padahal teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah, berikut ini.

Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.” (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

Terlepas dari hukum-hukum dalam Agama Islam, kondisi jumlah laki-laki dengan perempuan saat ini cukup mengkawatirkan. Karena sejak tahun 2001, jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan, terutama di Timur Tengah dan beberapa negara asia yang “dulunya” menganggap anak laki-laki lebih berharga dibandingkan anak perempuan, serta yang “dulunya” menganggap poligami adalah hal yang lumrah. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah Allah SWT sedang menghukum (menyadarkan) sebagian masyarakat di negara-negara tersebut ? Maha Suci, Maha Adil, Maha Benar, dan Maha Mengetahui Allah SWT.

Untuk melihat data statistik jumlah penduduk (laki-laki dan perempuan) masing-masing negara di Dunia, silakan klik di bawah ini :
http://statistik.ptkpt.net (Daftar/Data Perbandingan Jumlah Laki-laki : Perempuan masing-masing negara di Seluruh Dunia)

SYARAT SAH PERNIKAHAN

Untuk sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian banyak rukun dan atau syarat, yang dipahami dari ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi saw.
Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab dan kabul merupakan rukun atau syarat yang rinciannya dapat berbeda antara seorang ulama/mazhab dengan mazhab lain; bukan di sini tempatnya untuk diuraikan.

Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain, atau tidak dalam keadaan ‘iddah (masa menunggu) baik karena wafat suaminya, atau dicerai, hamil, dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi, sebagaimana disebutkan di atas.

Wali dari pihak calon suami tidak diperlukan, tetapi wali dari pihak calon istri dinilai mutlak keberadaan dan izinnya oleh banyak ulama berdasar sabda Nabi saw : “Tidak sah nikah kecuali dengan (izin) wali”.

Al-Quran mengisyaratkan hal ini dengan firman-Nya yang ditujukan kepada para wali:

… Janganlah kamu (hai para wali) menghalangi mereka (wanita yang telah bercerai) untuk kawin (lagi) dengan bakal suaminya, jika terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang makruf (QS Al-Baqarah [2]: 232).

Menurut sementara ulama seperti Imam Syafi’i dan Imam Maliki, “Seandainya mereka tidak mempunyai hak kewalian, maka larangan ayat di atas tidak ada artinya,”
Ada juga ulama lain semacam Abu Hanifah, Zufar, Az-zuhri dan lain-lain yang berpendapat bahwa apabila seorang wanita menikah tanpa wali maka nikahnya sah, selama pasangan yang dikawininya sekufu’ (setara) dengannya. Mereka yang menganut paham ini berpegang pada isyarat Al-Quran:

Apabila telah habis masa iddahnya (wanita-wanita yang suaminya meninggal), maka tiada dosa bagi kamu (hai para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut (QS Al-Baqarah [2): 234).

Ayat di atas, menurut penganut paham ini, mengisyaratkan hak wanita bebas melakukan apa saja yang baik (bukan sekadar berhias, bepergian, atau menerima pinangan) sebagaimana pendapat yang mengharuskan adanya wali, tetapi termasuk juga menikahkan diri mereka tanpa wali. Di samping itu, kata penganut paham ini, Al-Quran juga (dan bukan hanya sekali) menisbahkan aktivitas menikah bagi para wanita, seperti misalnya firman-Nya,

Sampai dia menikah dengan suami yang lain (QS Al-Baqarah [2]: 230).

Perlu digarisbawahi bahwa ayat-ayat di atas yang dijadikan alasan oleh mereka yang tidak mensyaratkan adanya wali, berbicara tentang para janda, sehingga kalaupun pendapat mereka dapat diterima maka ketiadaan wali itu terbatas kepada para janda, bukan gadis-gadis. Pandangan ini dapat merupakan jalan tengah antara kedua pendapat yang bertolak belakang di atas.

Menurut Quraish Shihab adalah amat bijaksana untuk tetap menghadirkan wali, baik bagi gadis maupun janda. Hal tersebut merupakan sesuatu yang amat penting karena “seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan”, maka ada sandaran yang dapat dijadikan rujukan.

Hal kedua yang dituntut bagi terselenggaranya pernikahan yang sah adalah saksi-saksi. Quraish Shihab tidak menemukan hal ini disinggung secara tegas oleh Al-Quran, tetapi sekian banyak hadis menyinggungnya. Kalangan ulama pun berbeda pendapat menyangkut kedudukan hukum para saksi. Imam Abu Hanifah, Syafi’i, dan Maliki mensyaratkan adanya saksi-saksi pernikahan, hanya mereka berbeda pendapat apakah kesaksian tersebut merupakan syarat kesempurnaan pernikahan yang dituntut. Sebelum pasangan suami istri “bercampur” (berhubungan seks) atau syarat sahnya pernikahan, yang dituntut kehadiran mereka saat akad nikah dilaksanakan.

Betapapun perbedaan itu, namun para ulama sepakat melarang pernikahan yang dirahasiakan, berdasarkan perintah Nabi untuk menyebarluaskan berita pernikahan. Bagaimana kalau saksi-saksi itu diminta untuk merahasiakan pernikahan itu? Imam Syafi’i dan Abu Hanifah menilainya sah-sah saja, sedang Imam Malik menilai bahwa syarat yang demikian membatalkan pernikahan {fasakh). Perbedaan pendapat ini lahir dari analisis mereka tentang fungsi para saksi, apakah fungsi mereka keagamaan, atau semata-mata tujuannya untuk menutup kemungkinan adanya perselisihan pendapat. Demikian penjelasan Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayat Al-Mujtahid.

Dalam konteks ini terlihat betapa pentingnya pencatatan pernikahan yang ditetapkan melalui undang-undang, namun di sisi lain pernikahan yang tidak tercatat selama ada dua orang saksi-tetap dinilai sah oleh agama. Bahkan seandainya kedua saksi itu diminta untuk merahasiakan pernikahan yang disaksikannya itu, maka pernikahan tetap dinilai sah dalam pandangan pakar hukum Islam Syafi’i dan Abu Hanifah.

Namun demikian, menurut Quraish Shihab, dalam konteks keindonesiaan, walaupun pernikahan demikian dinilai sah menurut hukum agama, namun perkawinan di bawah tangan dapat mengakibatkan dosa bagi pelaku-pelakunya, karena melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR (Ulil Amri). Al-Quran memerintahkan setiap Muslim untuk menaati Ulil Amri selama tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Dalam hal pencatatan tersebut, sangat sejalan dengan semangat Al-Quran.

Hal ketiga dalam konteks perkawinan adalah mahar.

Secara tegas Al-Quran memerintahkan kepada calon suami untuk membayar mahar.

Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan (QS Al-Nisa’ [4]: 4).

Suami berkewajiban menyerahkan mahar atau mas kawin kepada calon istrinya. Mas kawin adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya, dan selama mas kawin itu bersifat lambang, maka sedikit pun jadilah. Bahkan: Sebaik-baik mas kawin adalah seringan-ringannya, begitu sabda Nabi saw. Walaupun Al-Quran tidak melarang untuk memberi sebanyak mungkin mas kawin (QS Al-Nisa’ [4]: 20). Ini karena pernikahan bukan akad jual beli, dan mahar bukan harga seorang wanita. Menurut Al-Quran, suami tidak boleh mengambil kembali mas kawin itu, kecuali bila istri merelakannya.

Apakah kalian (hai para suami) akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahal sebagian kamu (suami atau istri) telah melapangkan (rahasianya/bercampur) dengan sebagian yang lain (istri atau suami) dan mereka (para istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang amat kokoh (QS Al-Nisa’ [4]: 20-2l).

Agama menganjurkan agar mas kawin merupakan sesuatu yang bersifat materi, karena itu bagi orang yang tidak memilikinya dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan sampai ia memiliki kemampuan. Tetapi kalau oleh satu dan lain hal, ia harus juga kawin, maka cincin besi pun jadilah.

Carilah walau cincin dari besi, begitu sabda Nabi saw. Kalau ini pun tidak dimilikinya sedang perkawinan tidak dapat ditangguhkan lagi, baru mas kawinnya boleh berupa mengajarkan beberapa ayat Al-puran. Rasulullah pernah bersabda : “Telah saya kawinkan engkau padanya dengan apa yang engkau miliki dari Al-Quran”. (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Sahal bin Sa’ad).

Adapun ijab dan kabul pernikahan, maka ia pada hakikatnya adalah ikrar dari calon istri, melalui walinya, dan dari calon suami untuk hidup bersama seia sekata, guna mewujudkan keluarga sakinah, dengan melaksanakan segala tuntunan dari kewajiban. Ijab seakar dengan kata wajib, sehingga ijab dapat berarti atau paling tidak mewujudkan suatu kewajiban, yakni berusaha sekuat kemampuan untuk membangun satu rumah tangga sakinah. Penyerahan disambut dengan qabul (penerimaan) dari calon suami.

Untuk menguatkan ikrar, maka serah terima itu dalam pandangan Imam Syafi’i tidak sah kecuali jika menggunakan apa yang diistilahkan oleh Nabi saw dengan Kalimat Allah, yaitu dengan sabdanya: “Hubungan seks kalian menjadi halal atas dasar kalimat Allah”.

Kalimat Allah yang dimaksud adalah kedua lafaz (kata) nikah dan zawaj (kawin) yang digunakan Al-Quran. Imam Malik membolehkan juga kata “memberi” sebagai terjemahan dari kata wahabat sebagaimana disinggung pada pendahuluan. Ulama-ulama ini tidak menilai sah lafaz ijab dan kabul yang mengandung “kepemilikan”, “penganugerahan”, dan sebagainya, karena kata-kata tersebut tidak digunakan Al-Quran sekaligus tidak mencerminkan hakikat hubungan suami istri yang dikehendaki oleh-Nya. Hubungan suami istri bukanlah hubungan kepemilikan satu pihak atas pihak lain, bukan juga penyerahan diri seseorang kepada suami, karena itu sungguh tepat pandangan yang tidak menyetujui lafaz mahabat (penganugerahan) digunakan dalam akad pernikahan. Hubungan tersebut adalah hubungan kemitraan yang diisyaratkan oleh kata zauwj yang berarti pasangan. Suami adalah pasangan istri, demikian pula sebaliknya. Kata ini memberi kesan bahwa suami sendiri belum lengkap, istri pun demikian. Persis seperti rel kereta api, bila hanya satu rel saja kereta tak dapat berjalan, atau katakanlah bagaikan sepasang anting di telinga, bila hanya sebelah maka ia tidak berfungsi sebagai perhiasan.

Mengawinkan pria dan wanita adalah menghimpunnya dalam satu wadah perkawinan, sehingga wajar jika upaya tersebut dilukiskan oleh Al-Quran dengan menggunakan kata “menikah” yang pengertian kebahasaannya seperti dikemukakan pada pendahuluan adalah “menghimpun”.

Serah terima perkawinan dilakukan dengan kalimat Allah yang sifatnya demikian, agar calon suami dan istri menyadari betapa suci peristiwa yang sedang mereka alami. Dan dalam saat yang sama mereka berupaya untuk menjadikan kehidupan rumah tangga mereka dinaungi oleh makna-makna kalimat itu: kebenaran, keadilan, langgeng tidak berubah, luhur penuh kebajikan, dan dikaruniai anak yang saleh, yang menjadi panutan, pandai menahan diri, serta menjadi orang terkemuka di dunia dan di akhirat lagi dekat kepada Allah.

TALI-TEMALI PEREKAT PERNIKAHAN

Cinta, mawaddah, rahmah dan amanah Allah, itulah tali temali rohani perekat perkawinan, sehingga kalau cinta pupus dan mawaddah putus, masih ada rahmat, dan kalau pun ini tidak tersisa, masih ada amanah, dan selama pasangan itu beragama, amanahnya terpelihara.

Mawaddah, tersusun dari huruf-huruf m-w-d-d-, yang maknanya berkisar pada kelapangan dan kekosongan. Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Dia adalah cinta plus. Bukankah yang mencintai, sesekali hatinya kesal sehingga cintanya pudar bahkan putus. Tetapi yang bersemai dalam hati mawaddah, tidak lagi akan memutuskan hubungan, seperti yang bisa terjadi pada orang yang bercinta. Ini disebabkan karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin datang dari pasangannya). Begitu lebih kurang komentar pakar Al-Quran Ibrahim Al-Biqa’i (1480 M) ketika menafsirkan ayat yang berbicara tentang mawaddah.

Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan keluarga, masing-masing suami dan istri akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya.

Al-Quran menggarisbawahi hal ini dalam rangka jalinan perkawinan karena betapapun hebatnya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan, dan betapapun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya. Suami dan istri tidak luput dari keadaan demikian, sehingga suami dan istri harus berusaha untuk saling melengkapi.

Pernikahan adalah amanah, digarisbawahi oleh Rasul saw dalam sabdanya : “Kalian menerima istri berdasar amanah Allah”.

Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu, akan dipelihara dengan baik, serta keberadaannya aman di tangan yang diberi amanat itu.

Kesediaan seorang istri untuk hidup bersama dengan seorang lelaki, meninggalkan orang-tua dan keluarga yang membesarkannya, dan “mengganti” semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama lelaki “asing” yang menjadi suaminya, serta bersedia membuka rahasianya yang paling dalam. Semua itu merupakan hal yang sungguh mustahil, kecuali jika ia merasa yakin bahwa kebahagiannnya bersama suami akan lebih besar dibanding dengan kebahagiaannya dengan ibu bapak, dan pembelaan suami terhadapnya tidak lebih sedikit dari pembelaan saudara-saudara sekandungnya. Keyakinan inilah yang dituangkan istri kepada suaminya dan itulah yang dinamai Al-Quran mitsaqan ghalizha (perjanjian yang amat kokoh) (QS Al-Nisa’ [4): 21).

SUAMI ADALAH PEMIMPIN KELUARGA

Keluarga, atau katakanlah unit terkecil dari keluarga adalah suami dan istri, atau ayah, ibu, dan anak, yang bernaung di bawah satu rumah tangga. Unit ini memerlukan pimpinan, dan dalam pandangan Al-Quran yang wajar memimpin adalah bapak.

Kaum lelaki (suami) adalah pemimpin bagi kaum perempuan (istri) (QS Al-Nisa’ [4]: 34).

Ada dua alasan yang dikemukakan lanjutan ayat di atas berkaitan dengan pemilihan ini, yaitu:

a. Karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan
b. Karena mereka (para suami diwajibkan) untuk menafkahkan sebagian dari harta mereka (untuk istri/keluarganya).

Istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi suami, mempunyai satu derajat kelebihan atas istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS Al-Baqarah [2]: 228).

Derajat itu adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri. Karena itu, tulis Syaikh Al-Mufasirin (Guru besar para penafsir) Imam Ath-Thabari, “Walau ayat ini disusun dalam redaksi berita, tetapi maksudnya adalah anjuran bagi para suami untuk memperlakukan istrinya dengan sifat terpuji, agar mereka dapat memperoleh derajat itu.”

Imam Al-Ghazali menulis, “Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan perlakuan baik terhadap istri, bukanlah tidak mengganggunya, tetapi bersabar dalam kesalahannya, serta memperlakukannya dengan kelembutan dan maaf, saat ia menumpahkan emosi dan kemarahannya.”

Keberhasilan perkawinan tidak tercapai kecuali jika kedua belah pihak memperhatikan hak pihak lain. Tentu saja hal tersebut banyak, antara lain bahwa suami bagaikan presiden sedang istri bagaikan perdana menteri, dan dalam kedudukannya seperti itu, suami berkewajiban untuk memperhatikan hak dan kepentingan istrinya.
Istri pun berkewajiban untuk mendengar dan mengikutinya, tetapi di sisi lain perempuan mempunyai hak terhadap suaminya untuk mencari yang terbaik ketika melakukan diskusi. Demikian lebih kurang tulis Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi.
Sekali lagi, kepemimpinan tersebut adalah keistimewaan tetapi sekaligus tanggung jawab yang tidak kecil.

Kalau titik temu dalam musyawarah tidak diperoleh, sehingga keretakan hubungan dikhawatirkan terjadi, maka barulah keluar kamar menghubungi orang-tua atau orang yang dituakan untuk meminta nasihatnya, atau bahkan barulah diharapkan campur tangan orang bijak untuk menyelesaikannya. Dalam konteks ini Al-Quran berpesan,

Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka utuslah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki, dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika keduanya (suami istri dan para hakam) ingin mengadakan perbaikan, niscapa Allah memberi bimbingan kepada keduanya (suami istri). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Nisa’ [4]: 35).

WALIMAH (Pesta Pernikahan)

Walimah (walimatul-‘ursy) adalah pesta pernikahan, yaitu upacara perjamuan makan yang diadakan sewaktu atau sesudah pernikahan dilangsungkan. Inti upacara tersebut adalah untuk memberitahukan dan merayakan pernikahan yang dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur dan kebahagiaan keluarga. Dalam walimah, diundang kerabat dekat dan tetangga serta handai tolan.

Menurut jumhur ulama Malikiyah, Hanabilah, dan sebagian ulama Syafi’iyah, mengadakan walimah itu sunah mu’akkad (sangat dianjurkan) hukumnya. Ketika Rasulullah saw melihat upacara pernikahan, beliau berkata, “Semoga Allah memberkatimu. Adakanlah walimah meskipun dengan seekor kambing” (HR. Bukhari-Muslim). Hadist dari Buraidah, ia mengatakan ketika Ali melamar Fatimah, Rosulullah saw bersabda, “Sesungguhnya mesti, untuk perkawinan ada walimahnya”. (HR. Ahmad).

Mengenai hukum memenuhi undangan untuk menghadiri walimah (pesta pernikahan), terdapat perbedaan diantara ulama. Menurut ulama Hanafiyah, memenuhi undangan walimah hukumnya sunah. Sedangkan menurut jumhur termasuk ulama Malikiyah, sebagian Mazhab Syafi’i dan Hanbali, hukumnya wajib ‘ain bila tidak ada halangan.

Nabi Muhammad saw IMAN – Keimanan

Published September 6, 2011 by Komunitas Voucher Elektrik

Pendahuluan
Nama Muhammad bin Abdullah
Garis Keturunan Ayah Adam as ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qainan ⇒ Mahlail ⇒ Yarid ⇒ Idris as ⇒ Mutawasylah ⇒ Lamak ⇒ Nuh as ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyadz ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Azar ⇒ Ibrahim asIsmail as ⇒ Nabit ⇒ Yasyjub ⇒ Ya’rub ⇒ Tairah ⇒ Nahur ⇒ Muqawwim ⇒ Udad ⇒ Adnan ⇒ Ma’ad ⇒ Nizar ⇒ Mudhar ⇒ Ilyas ⇒ Mudrikah ⇒ Khuzaimah ⇒ Kinanah ⇒ an-Nadhar ⇒ Malik ⇒ Quraisy (Fihr) ⇒ Ghalib ⇒ Lu’ay ⇒ Ka’ab ⇒ Murrah ⇒ Kilab ⇒ Qushay ⇒ Zuhrah ⇒ Abdu Manaf ⇒ Hasyim ⇒ Abdul Muthalib ⇒ AbdullahMuhammad saw
Garis Keturunan Ibu Adam as ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qainan ⇒ Mahlail ⇒ Yarid ⇒ Idris as ⇒ Mutawasylah ⇒ Lamak ⇒ Nuh as ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyadz ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Azar ⇒ Ibrahim asIsmail as ⇒ Nabit ⇒ Yasyjub ⇒ Ya’rub ⇒ Tairah ⇒ Nahur ⇒ Muqawwim ⇒ Udad ⇒ Adnan ⇒ Ma’ad ⇒ Nizar ⇒ Mudhar ⇒ Ilyas ⇒ Mudrikah ⇒ Khuzaimah ⇒ Kinanah ⇒ an-Nadhar ⇒ Malik ⇒ Quraisy (Fihr) ⇒ Ghalib ⇒ Lu’ay ⇒ Ka’ab ⇒ Murrah ⇒ Kilab ⇒ Qushay ⇒ Zuhrah ⇒ Abdu Manaf ⇒ Wahab ⇒ AminahMuhammad saw
Usia 62 tahun
Periode sejarah 570 – 632 M
Tempat diutus (lokasi) Mekah al-Mukarramah
Jumlah keturunannya (anak) 7 anak (3 laki-laki, 4 perempuan)
Tempat wafat Madinah an-Nabawiyah
Sebutan kaumnya Bangsa Arab
di Al-Quran namanya disebutkan sebanyak 25 kali secara jelas

Disadari atau tidak, wujud Tuhan pasti dirasakan oleh jiwa manusia baik redup atau benderang. Manusia menyadari bahwa suatu ketika dirinya akan mati. Kesadaran ini mengantarkannya kepada pertanyaan tentang apa yang akan terjadi sesudah kematian, bahkan menyebabkan manusia berusaha memperoleh kedamaian dan keselamatan di negeri yang tak dikenal itu.

Wujud Tuhan yang dirasakan, serta hal-ihwal kematian, merupakan dua dari sekian banyak faktor pendorong manusia untuk berhubungan dengan Tuhan dan memperoleh informasi yang pasti. Sayangnya tidak semua manusia mampu melakukan hal itu. Namun, kemurahan Allah menyebabkan-Nya memilih manusia tertentu untuk menyampaikan pesan-pesan Allah, baik untuk periode dan masyarakat tertentu maupun untuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat. Mereka yang mendapat tugas itulah yang dinamai Nabi (penyampai berita) dan Rasul (Utusan Tuhan).

Jumlah mereka secara pasti tidak diketahui. Al-Quran hanya menginforrnasikan bahwa,

“Tidak satu umat (kelompok masyarakat) pun kecuali telah pernah diutus kepadanya seorang pembawa peringatan” (QS Fathir [35]: 24)

Al-Quran juga menyatakan kepada Nabinya bahwa,

“Kami telah mengutus nabi-nabi sebelum kamu, di antara mereka ada yang telah kami sampaikan kisahnya, dan ada pula yang tidak Kami sampaikan kepadamu” (QS Al-Mu’min [40]: 78)

Al-Quran menyebutkan secara tegas nama dua puluh lima Nabi/Rasul; delapan belas di antaranya disebutkan dalam Al-Quran surat Al-An’am (6): 83-86, sisanya didapatkan dari berbagai ayat.

Nabi Muhammad saw seperti dinyatakan Al-Quran surat Al-A’raf (7): 158 -diutus kepada seluruh manusia, dan beliau merupakan khataman nabiyyin (penutup para nabi) (QS Al-Ahzab [33]: 40).

Masa Prakelahiran

Al-Quran menegaskan bahwa para nabi telah pernah diangkat janjinya untuk percaya dan membela Nabi Muhammad saw

“Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian dan para Nabi, ‘Sungguh apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasul (Muhammad) yang membenarkan kamu, niscaya kamu sungguh-sungguh akan beriman kepadanya dan menolongnya.’ Allah berfirman, ‘Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku yang demikian itu?’ Mereka menjawab, ‘Kami mengakui.'” (QS Ali’Imran [3]: 81)

Allah SWT telah merencanakan sesuatu untuk Nabi Muhammad saw, jauh sebelum kelahiran beliau. Karena itu pula sementara pakar menyatakan bahwa kematian ayah beliau sebelum kelahiran, kepergiannya ke pedesaan menjauhi ibunya, serta ketidakmampuannya membaca dan menulis merupakan strategi yang dipersiapkan Tuhan kepada beliau untuk dijadikan utusan-Nya kepada seluruh umat manusia kelak.

Bahkan ulama lain meyakini bahwa pemilihan hal-hal tertentu berkaitan dengan beliau bukanlah kebetulan. Misalnya bulan lahir, hijrah, dan wafatnya pada bulan Rabi’ul Awal (musim bunga). Nama beliau Muhammad (yang terpuji), ayahnya Abdullah (hamba Allah), ibunya Aminah (yang memberi rasa aman), kakeknya yang bergelar Abdul Muththalib bernama Syaibah (orang tua yang bijaksana), sedangkan yang membantu ibunya melahirkan bernama Asy-Syifa’ (yang sempurna dan sehat), serta yang menyusukannya adalah Halimah As-Sa’diyah (yang lapang dada dan mujur). Semuanya mengisyaratkan keistimewaan berkaitan dengan Nabi Muhammad saw Makna nama-nama tersebut memiliki kaitan yang erat dengan kepribadian Nabi Muhammad saw

Al-Quran surat Al-A’raf (7): 157 juga menginformasikan bahwa Nabi Muhammad saw pada hakikatnya dikenal oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Hal ini antara lain disebabkan mereka mendapatkan (nama)-nya tertulis di dalam Taurat dan Injil (QS Al-A’raf [7]: 157).

Menurut pakar agama Islam, yang ditegaskan oleh Al-Quran itu, dapat terbaca antara lain dalam Pertanjian Lama, Kitab Ulangan 33 ayat 2:
“… bahwa Tuhan telah datang dari Torsina, dan telah terbit untuk mereka itu dari Seir, kelihatanlah ia dengan gemerlapan cahayanya dari gunung Paran.”

Pemahaman mereka berdasarkan analisis berikut: “Gunung Paran” menurut Kitab Pertanjian Lama, Kejadian ayat 21, adalah tempat putra Ibrahim -yakni Nabi Ismail- bersama ibunya Hajar memperoleh air (Zam-Zam). Ini berarti bahwa tempat tersebut adalah Makkah, dan dengan demikian yang tercantum dalam Kitab Ulangan di atas mengisyaratkan tiga tempat terpancarnya cahaya wahyu Ilahi: Thur Sina tempat Nabi Musa a.s., Seir tempat Nabi Isa a.s. , dan Makkah tempat Nabi Muhammad saw. Sejarah membuktikan bahwa beliau satu-satunya Nabi dari Makkah.

Karena itu pula wajar jika Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 146 menyatakan bahkan mereka itu mengenalnya (Muhammad saw), sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka, bahkan salah seorang penganut agama Yahudi yang kemudian masuk Islam, yaitu Abdullah bin Salam pernah berkata, “Kami lebih mengenal dan lebih yakin tentang kenabian Muhammad saw daripada pengenalan dan keyakinan kami tentang anak-anak kami. Siapa tahu pasangan kami menyeleweng.”

Masa Prakenabian

Ada beberapa ayat Al-Quran yang berbicara tentang Nabi Muhammad saw sebelum kenabian beliau. Antara lain,

“Bukankah Dia (Tuhan) mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu, dan Dia mendapatimu bimbang, lalu Dia memberi petunjuk kepadamu, dan Dia mendapatimu dalam keadaan kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan?” (QS Al-Dhuha [93]: 6-8)

Beliau yatim sejak di dalam kandungan, kemudian dipelihara dan dilindungi oleh paman dan kakeknya. Beliau hidup di dalam keresahan dan kebimbangan melihat sikap masyarakatnya, lalu Allah memberinya petunjuk, dan mengangkatnya sebagai Nabi dan Rasul. Beliau hidup miskin karena ayahnya tidak meninggalkan warisan untuknya, kecuali beberapa ekor kambing dan harta lainnya yang tidak berarti. Tetapi Allah memberinya kecukupan, khususnya menjelang dan saat hidup berumah tangga dengan istrinya, Khadijah a.s.

Ayat lain yang oleh ulama dianggap berbicara tentang Nabi Muhammad saw pada masa kanak-kanaknya, adalah surat Alam Nasyrah ayat pertama:
“Bukankah Kami (Tuhan) telah melapangkan dada untukmu?”

Sebagian ulama mengartikan kata nasyrah dengan “memotong/membedah.” Memang, bila dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat materi, artinya demikian. Apabila dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat nonmateri, kata itu mengandung arti membuka, memberi pemahaman, menganugerahkan ketenangan dan semaknanya. Yang mengaitkan dengan hal-hal materi berpendapat bahwa ayat ini berbicara tentang “pembedahan” yang pernah dilakukan oleh para malaikat terhadap Nabi Muhammad saw kala beliau remaja. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh mufasir An -Naisaburi.

Tetapi sepanjang penelitian Prof. Dr. M. Quraish Shihab, kata tersebut dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak 5 kali, dan tidak satu pun yang digunakan dengan arti harfiah, apalagi bermakna pembedahan. Akan lebih jelas lagi jika hal itu disejajarkan dengan ayat yang berbicara tentang doa Nabi Musa a.s. di dalam Al-Quran.

“Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah untukku urusanku dan lepaskanlah kekakuan lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku” (QS Thaha [20]: 25-28)

Selanjutnya Al-Quran menegaskan bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah membaca satu kitab atau menulis satu kata sebelum datangnya wahyu Al-Quran.

“Engkau tidak pernah membaca satu kitab pun sebelumnya (Al-Quran), tidak juga menulis satu tulisan dengan tanganmu, (andai kata kamu pernah membaca dan menulis) pasti akan benar-benar ragulah orang yang mengingkari-(mu)” (QS Al-‘Ankabut [29]: 48).

Ayat ini secara pasti menyatakan bahwa beliau saw adalah orang yang tidak pandai membaca dan menulis. Banyak ulama yang memahami bahwa kendatipun kemudian Nabi saw menganjurkan umatnya belajar membaca dan menulis, namun beliau sendiri tidak melakukannya, karena Allah SWT ingin menjadikan beliau sebagai bukti bahwa informasi yang diperolehnya benar-benar bukan bersumber dari manusia, melainkan dari Allah SWT

Ada juga ulama yang memahami bahwa ketidakmampuan beliau membaca hanya terbatas sampai sebelum terbukti kebenaran ajaran Islam. Setelah kebenaran Islam terbukti -setelah hijrah ke Madinah- beliau telah pandai membaca. Menurut pendukungnya ide ini dikuatkan antara lain oleh kata “sebelumnya” yang terdapat pada ayat di atas.

Memang, kata ummi hanya ditemukan dua kali dalam Al-Quran (QS Al-A’raf [7] 157 dan 158), dan keduanya menjadi sifat Nabi Muhammad saw Memang kedua ayat itu turun di Makkah, meskipun ada juga ayat lain yang turun di Madinah menyatakan,

“Dia (Allah) yang mengutus kepada masyarakat ummiyyin (buta huruf), seorang Rasul di antara mereka” (QS Al-Jum’ah [62]: 2)

Di sisi lain, harus disadari bahwa masyarakat beliau ketika itu menganggap kemampuan menulis sebagai bukti kelemahan seseorang.
Pada masa itu sarana tulis-menulis amat langka, sehingga masyarakat amat mengandalkan hafalan. Seseorang yang menulis dianggap tidak memiliki kemampuan menghafal, dan ini merupakan kekurangan. Penyair Zurrummah pernah ditemukan sedang menulis, dan ketika ia sadar bahwa ada orang yang melihatnya, ia bermohon: “Jangan beri tahu siapa pun, karena ini (kemampuan menulis) bagi kami adalah aib.”

Memang, nilai-nilai dalam masyarakat berubah, sehingga apa yang dianggap baik pada hari ini, boleh jadi sebelumnya dinilai buruk. Pada masa kini kemampuan menghafal tidak sepenting masa lalu, karena sarana tulis-menulis dengan mudah diperoleh.

Masa Kenabian

Pada usia 40 tahun, yang disebut oleh Al-Quran surat Al-Ahqaf ayat 15 sebagai usia kesempurnaan, Muhammad saw diangkat menjadi Nabi. Ditandai dengan turunnya wahyu pertama Iqra’ bismi Rabbik.

Sebelumnya beliau tidak pernah menduga akan mendapat tugas dan kedudukan yang demikian terhormat. Karena itu ditemukan ayat-ayat Al-Quran yang menguraikan sikap beliau terhadap wahyu dan memberi kesan bahwa pada mulanya beliau sendiri “ragu” dan gelisah mengenai hal yang dialaminya. QS Yunus (10): 94 mengisyaratkan bahwa,

“Kalau engkau ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca Kitab Suci sebelum kamu (QS Yunus [10]: 94)

Kegelisahan itu bertambah besar pada saat wahyu yang beliau nanti-nantikan tidak kunjung datang, hingga menurut beberapa riwayat beliau sedemikian gelisah, sampai-sampai konon beliau hampir saja mencelakakan dirinya. Rupanya Allah SWT bermaksud menjadikan beliau lebih merindukan lagi “sang kekasih dan firman-firman-Nya” agar semakin mantap cinta beliau kepada-Nya.

Ketika matahari naik sepenggalah, cahayanya memancar menerangi seluruh penjuru. Cahayanya tidak terlalu terik, sehingga tidak menyebabkan gangguan sedikit pun, bahkan panasnya memberikan kesegaran, kenyamanan, dan kesehatan. Di sini Allah SWT melambangkan kehadiran wahyu selama ini sebagai kehadiran cahaya matahari yang sinarnya demikian jelas, menyegarkan, dan menyenangkan. Sedangkan ketidakhadiran wahyu dinyatakan dengan kalimat, “Demi malam ketika hening.”

Kenabian Muhammad saw bukan merupakan hal yang baru bagi umat manusia. Nabi Muhammad secara tegas diperintahkan untuk menyatakan hal itu,

“Katakanlah, ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul. Aku tidak mengetahui yang diperbuat terhadapku, tidak juga terhadapmu. Aku tidak lain hanya mengikuti yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.'” (QS Al-Ahqaf [46]: 9)

Namun demikian kenabian Muhammad saw berbeda dengan kenabian utusan Tuhan yang lain. Sebelum beliau, para Nabi dan Rasul diutus untuk masyarakat dan waktu tertentu, tetapi Nabi Muhammad saw diutus untuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat,

“Katakanlah (hai Muhammad), ‘Wahai seluruh manusia! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kamu semua'” (QS Al-A’raf [7]: 158)

Ada sementara orientalis yang menduga bahwa pada mulanya Nabi Muhammad saw hanya bermaksud mengajarkan agamanya kepada orang-orang Arab, tetapi setelah beliau berhasil di Madinah, beliau memperluas dakwahnya untuk seluruh manusia.

Pendapat ini sungguh keliru, karena sejak di Makkah beliau telah menegaskan bahwa beliau diutus untuk seluruh manusia.

“Katakanlah (hai Muhammad), ‘Wahai seluruh manusia! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kamu semua.'” (QS Al-A’raf [7]: 158)

Ayat ini turun ketika Nabi saw sedang berada di Makkah, bahkan menurut sementara ulama, semua ayat Al-Quran yang dimulai dengan panggilan “Wahai seluruh manusia,” semuanya turun di Makkah kecuali beberapa ayat.

Ketika masyarakat Arab Quraisy meminta bukti-bukti yang bersifat suprarasional, Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk menyampaikan kalimat-kalimat berikut:

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya bukti-bukti itu bersumber dari Allah, sedang aku hanya pembawa peringatan yang menjelaskan.'” (QS Al-‘Ankabut [29]: 50)

Memang Nabi Muhammad saw tidak mengandalkan hal-hal yang bersifat suprarasional sebagai bukti kebenaran ajarannya.
Bukti kebenaran kenabian dan kerasulannya adalah Al-Quran dan diri beliau sendiri yang ummi (tidak pandai membaca dan menulis). Para pakar bersepakat dengan menggunakan berbagai tolok ukur untuk mengakui beliau sebagai manusia teragung yang pernah dikenal oleh sejarah kemanusiaan

“Wahai seluruh manusia, telah datang kepada kamu bukti yang sangat jelas dan Tuhanmu (yakni Muhammad saw), dan Kami telah (pula) menurunkan cahaya yang terang benderang (Al-Quran)” (QS Al-Nisa’ [4]: 174)

Akhlak dan Fungsi Kenabian Muhammad saw

Al-Quran mengakui secara tegas bahwa Nabi Muhammad saw memiliki akhlak yang sangat agung. Bahkan dapat dikatakan bahwa konsideran pengangkatan beliau sebagai nabi adalah keluhuran budi pekertinya. Hal ini dipahami dari wahyu ketiga yang antara lain menyatakan bahwa:

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung” (QS Al-Qalam [68]: 4)

Kata “di atas” tentu mempunyai makna yang sangat dalam, melebihi kata lain, misalnya, pada tahap/dalam keadaan akhlak mulia
Seperti dikemukakan di atas, Al-Quran surat Al-An’am ayat 90 menyebutkan dalam rangkaian ayat-ayatnya 18 nama Nabi/Rasul. Setelah kedelapan belas nama disebut, Allah berpesan kepada Nabi Muhammad saw, “Mereka itulah yang telah memperoleh petunjuk dari Allah, maka hendaknya kamu meneladani petunjuk yang mereka peroleh.” Karena itu pula sebagian ulama tafsir menyimpulkan, bahwa pastilah Nabi Muhammad saw telah meneladani sifat-sifat terpuji para nabi sebelum beliau

Nabi Nuh a.s. dikenal sebagai seorang yang gigih dan tabah dalam berdakwah. Nabi Ibrahim a.s. dikenal sebagai seorang yang amat pemurah, serta amat tekun bermujahadah mendekatkan diri kepada Allah. Nabi Daud a.s. dikenal sebagai nabi yang amat menonjolkan rasa syukur serta penghargaannya terhadap nikmat Allah. Nabi Zakaria a.s., Yahya a.s., dan Isa a.s., adalah nabi-nabi yang berupaya menghindari kenikmatan dunia demi mendekatkan diri kepada Allah SWT. Nabi Yusuf a.s. terkenal gagah, dan amat bersyukur dalam nikmat dan bersabar menahan cobaan. Nabi Yunus a. s. diketahui sebagai nabi yang amat khusyuk ketika berdoa, Nabi Musa terbukti sebagai nabi yang berani dan memiliki ketegasan, Nabi Harun a.s. sebaliknya, adalah nabi yang penuh dengan kelemahlembutan. Demikian seterusnya, dan Nabi Muhammad saw meneladani semua keistimewaan mereka itu.
Ada beberapa sifat Nabi Muhammad saw yang ditekankan oleh Al-Quran, antara lain,

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu (umat manusia), serta sangat menginginkan kebaikan untuk kamu semua, lagi amat tinggi belas kasihannya serta penyayang terhadap orang-orang mukmin” (QS Al-Tawbah [9]: 128)

Begitu besar perhatiannya kepada umat manusia, sehingga hampir-hampir saja ia mencelakakan diri demi mengajak mereka beriman (baca QS Syu’ara [26]: 3). Begitu luas rahmat dan kasih sayang yang dibawanya, sehingga menyentuh manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk-makhluk tak bernyawa.

Sebelum Eropa memperkenalkan Organisasi Pencinta Binatang, Nabi Muhammad saw telah mengajarkan,
“Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang-binatang, kendarailah dan makanlah dengan baik.”
“Seorang wanita terjerumus ke dalam neraka karena seekor kucing yang dikurungnya.”
“Seorang wanita yang bergelimang dosa diampuni Tuhan karena memberi minum seekor anjing yang kehausan.”

Rahmat dan kasih sayang yang dicurahkannya sampai pula pada benda-benda tak bernyawa. Susu, gelas, cermin, tikar, perisai, pedang, dan sebagainya, semuanya beliau beri nama, seakan-akan benda-benda tak bernyawa itu mempunyai kepribadian yang membutuhkan uluran tangan, rahmat, kasih sayang, dan persahabatan.

Diakui bahwa Muhammad saw diperintahkan Allah untuk menegaskan bahwa,

“Aku tidak lain kecuali manusia seperti kamu, (tetapi aku) diberi wahyu …” (QS Al-Kahf [18]: 110)

Beliau adalah manusia seperti manusia yang lain dalam naluri, fungsi fisik, dan kebutuhannya, tetapi bukan dalam sifat-sifat dan keagungannya, karena beliau mendapat bimbingan Tuhan dan kedudukan istimewa di sisi-Nya, sedang yang lain tidak demikian. Seperti halnya permata adalah jenis batu yang sama jenisnya dengan batu yang di jalan, tetapi ia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh batu-batu lain. Dalam bahasa tafsir Al-Quran, “Yang sama dengan manusia lain adalah basyariyah bukan pada insaniyah.” Perhatikan bunyi firman tadi: basyarun mitslukum bukan insan mitslukum.

Atas dasar sifat-sifat yang agung dan menyeluruh itu, Allah SWT menjadikan beliau sebagai teladan yang baik sekaligus sebagai syahid (pembawa berita gembira dan pemberi peringatan)

“Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasul teladan yang baik bagi yang mengharapkan (ridha) Allah dan ganjaran di hari kemudian.” (QS Al-Ahzab [33]: 2l)

Keteladanan tersebut dapat dilakukan oleh setiap manusia, karena beliau telah memiliki segala sifat terpuji yang dapat dimiliki oleh manusia.

Dalam konteks ini, Abbas Al-Aqqad, seorang pakar Muslim kontemporer menguraikan bahwa manusia dapat diklasifikasikan ke dalam empat tipe: seniman, pemikir, pekerta, dan yang tekun beribadah.
Sejarah hidup Nabi Muhammad saw membuktikan bahwa beliau menghimpun dan mencapai puncak keempat macam manusia tersebut. Karya-karyanya, ibadahnya, seni bahasa yang dikuasainya, serta pemikiran-pemikirannya sungguh mengagumkan setiap orang yang bersikap objektif. Karena itu pula seorang Muslim akan kagum berganda kepada beliau, sekali pada saat memandangnya melalui kacamata ilmu dan kemanusiaan, dan kedua kali pada saat memandangnya dengan kacamata iman dan agama.

Banyak fungsi yang ditetapkan Allah bagi Nabi Muhammad saw, antara lain sebagai syahid (pembawa berita gembira dan pemberi peringatan) (QS Al-Fath [48]: 8), yang pada akhirnya bermuara pada penyebarluasan rahmat bagi alam semesta.

Demikian itulah Kami jadikan kamu umat pertengahan, agar kamu menjadi saksi terhadap manusia, dan agar Rasul (Muhammad saw) menjadi saksi terhadap kamu … (QS Al-Baqarah [2]: 143)

Kata syahid/syahid antara lain berarti “menyaksikan,” baik dengan pandangan mata maupun dengan pandangan hati (pengetahuan). Ayat itu menjelaskan keberadaan umat Islam pada posisi tengah, agar mereka tidak hanyut pada pengaruh kebendaan, tidak pula mengantarkannya membubung tinggi ke alam ruhani sehingga tidak berpijak lagi di bumi. Mereka berada di antara keduanya (posisi tengah), sehingga mereka dapat menjadi saksi dalam arti patron/teladan dan skala kebenaran bagi umat-umat yang lain, sedangkan Rasulullah saw yang juga berkedudukan sebagai syahid (saksi) adalah patron dan teladan bagi umat Islam.

Tingkat syahadat (persaksian) hanya diraih oleh mereka yang menelusuri jalan lurus (shirath al-mustaqim), sehingga mereka mampu menyaksikan yang tersirat di balik yang tersurat. Mereka yang menurut Ibnu Sina disebut “orang yang arif,” mampu memandang rahasia Tuhan yang terbentang melalu qudrat-Nya. Tokoh dari segala saksi adalah Rasulullah Muhammad saw yang secara tegas di dalam ayat ini dinyatakan “diutus untuk menjadi syahid (saksi).”

Kesimpulan yang diberikan oleh penyair Al-Bushiri: “Batas pengetahuan tentang beliau, hanya bahwa beliau adalah seorang manusia, dan bahwa beliau adalah sebaik-baik makhluk Allah seluruhnya.”

Allahumma shalli wa sallim ‘alaih.

Nabi Isa as

Published September 6, 2011 by Komunitas Voucher Elektrik

Pendahuluan
Nama Isa bin Maryam binti Imran, Maryam adalah nama Ibunya (catatan : Tidak ada dari para nabi yang dinasabkan ke Ibunya, kecuali Isa dan Yunus)
Garis Keturunan Adam as ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qainan ⇒ Mahlail ⇒ Yarid ⇒ Idris as ⇒ Mutawasylah ⇒ Lamak ⇒ Nuh as ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyadz ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Azar ⇒ Ibrahim asIshaq as ⇒ Yahudza ⇒ Farish ⇒ Hashrun ⇒ Aram ⇒ Aminadab ⇒ Hasyun ⇒ Salmun ⇒ Bu’az ⇒ Uwaibid ⇒ Isya ⇒ Daud asSulaiman as ⇒ Rahab’am ⇒ Radim ⇒ Yahusafat ⇒ Barid ⇒ Nausa ⇒ Nawas ⇒ Amsaya ⇒ Izazaya ⇒ Au’am ⇒ Ahrif ⇒ Hizkil ⇒ Misyam ⇒ Amur ⇒ Sahim ⇒ Imran ⇒ Maryam ⇒ Isa as
Usia 33 tahun
Periode sejarah 1 SM – 32 M
Tempat diutus (lokasi) Palestina
Jumlah keturunannya (anaknya)
Tempat wafat Diangkat oleh Allah ke langit
Sebutan kaumnya Bani Israil
Jumlah penyebutan di Al-Quran di dalam Al-Qur’an nama Isa disebutkan sebanyak 21 kali, sebutan al-Masih sebanyak 11 kali, dan sebutan Ibnu (Putra) Maryam sebanyak 23 kali

Riwayat Nabi Isa

Isa bin Maryam, Nabi terakhir bani Israil yang lahir di Betlehem (Baitulahmi) pada masa kekuasaan raja Herodes Romawi di Palestina. Kelahirannya merupakan sebuah mukjizat. Sebab, dia dilahirkan oleh perawan suci yang terjaga kehormatannya. Hal ini seperti dikisahkan dalam firman Allah, “Ceritakanlah (Muhammad) kisah Maryam di dalam Al Quran, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur (Baitul Maqdis), lalu dia memasang tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya, maka dia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata, ‘Sungguh, aku berlindung darimu kepada Rabb Yang Maha Pengasih jika engkau seorang yang bertakwa. ‘Dia (Jibril) berkata, ‘Sesungguhnya aku hanyalah seorang utusan Rabbmu, untuk menyampaikan anugerah seorang anak laki-laki yang suci kepadamu. ‘Maryam berkata, ‘Bagaimana mungkin aku mempunyai seorang anak laki-lai, padahal tidak pernah ada orang (laki-laki) yang menyentuhku dan aku bukan seorang pezina!’ Jibril berkata, ‘Demikianlah.Rabbmu berfirman, ‘Hal itu mudah bagi-Ku, dan agar Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu urusan yang sudah diputuskan.'” (QS. Maryam [19]: 16-21}.

Setelah lahir beberapa hari, Nabi Isa dapat berbicara untuk membebaskan ibunya dari fitnah. Peristiwa tersebut merupakan mukjizat pertamanya. Setelah berusia 30 tahun, dia menemui Nabi Yahya bin Zakaria untuk dibaptis. Baptis merupakan suatu istilah dalam agama Nasrani yang berarti memandikan seseorang dengan mandi taubat. Setelah itu, Malaikat Jibril turun dan inilah tanda awal kenabiannya. Nabi Isa kemudian pergi ke padang pasir dan berpuasa selama 40 hari di sana tanpa makan dan minum.

Allah lalu menurunkan kitab Injil kepadanya. Sejak saat itu, risalah Nabi Isa berlaku kepada kaum Yahudi yang telah menyeleweng dari syariat Nabi Musa. Allah berfirman, “Orang-orang kafir dari bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan Daud dan Isa putra Maryam). Demikian itu, karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka tidak saling mencegah perbuatan mungkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat.” (QS. Al Ma’idah [5] : 78-79}.

Nabi Isa berdakwah kepada kaumnya di daerah al-Jalil (Galilea). Kaum Yahudi lantas memintanya untuk menunjukkan mukjizat yang dapat memperkuat dan membenarkan dakwah serta risalah beliau. Allah berfirman, “(Ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata, ‘Wahai bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad). ‘Namun, ketika Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, ‘ini adalah sihir yang nyata.'” (QS. Shaf [61] : 6)

Ketika Nabi Isa masih merasakan kekufuran dan keingkaran bani Israil, dia lalu berangkat menuju Baitul Maqdis pada hari raya umat Yahudi. Orang-orang yang di sekitarnya kemudian berkumpul. Kejadian itu membuat marah para pendeta Yahudi hingga mereka membuat berita dusta tentang Isa kepada penguasa Romawi, Raja Pilathus, pengganti Raja Herodes di Palestina.

Sang raja pun meminta mereka mengadili dan menghukum Isa. Seseorang dari Hawariyin, pengikut Nabi Isa, Yahudza al-Askharyuthi (Yudas Iskariot) berkhianat dengan menunjukkan persembunyian Isa kepada mereka. Namun, Allah berkehendak lain dan menyelamatkan Nabi Isa dari kelicikan kaum Yahudi. Allah kemudian menyerupakan seseorang persis dengan Nabi Isa. Dengan demikian, para prajurit menangkap dan menyerahkan orang tersebut yang mirip dengan Isa kepada Raja Pilathus. Mereka pun kemudian menyalib dan membunuhnya, seperti yang dikisahkan al-Qur’an berikut ini.

“(Kami hukum juga) karena ucapan mereka, ‘Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah. ‘Padahal mereka tidak membunuhnya, tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh adalah) orang yang diserupakan dengan Isa. Sesungguhnya mereka yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, selalu berada dalam keraguan tentang yang dibunuh itu. Mereka benar-benar tidak tahu (siapa sebenarnya yang dibunuh itu), kecuali mengikuti perkiraan belaka. Jadi, mereka tidak yakin telah membunuh Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa ke hadirat-Nya. Allah Mahaperkasa dan Mahabijaksana. (QS. An-Nisa [4] : 157-158)

Nasab Nabi Isa

Dia adalah rasul terakhir untuk seluruh bani Israil. Allah telah mengisahkannya kepada kita di antara kumpulan cerita para rasul. Allah berfirman, “(Ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata, ‘Wahai bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad). ‘Namun, ketika Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, ‘ini adalah sihir yang nyata.'” (QS. Shaf [61] : 6)

Maryam (Maria) binti Imran

Ibunda Maryam bernama Hanah binti Qaqud bin Qubail, seorang hamba yang patuh. Sementara itu, Zakaria adalah seorang nabi pada saat itu. Dia merupakan suami dari saudari Maryam, Isyba’. Ada juga yang berpendapat bahwa Zakaria adalah suami bibi Maryam. Dikisahkan bahwa ibunda Maryam tidak memiliki keturunan. Lalu dia bernadzar kepada Allah jika suatu hari nanti hamil, dia akan menjadikan anaknya sebagai pengabdi di Baitul Maqdis. Lantas, dia pun hamil dan mengandung Maryam. Allah berfirman, “Maka tatkala istri Imran melahirkan anaknya, diapun berkata, ‘Ya Rabb, sesungguhnya aku melahirkan seorang anak perempuan. ‘Padahal Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak lelaki tidaklah seperti anak perempuan. ‘Dan aku memberinya nama Maryam, dan aku mohon perlindungan-Mu untuknya dan anak cucunya dari gangguan setan yang terkutuk,'” (QS. Ali Imran [3]:36)

Perempuan berbeda dengan laki-laki dalam melayani masjid. Bersamaan dengan itu, Hanah telah menyelamatkan Maryam untuk kepentingan agama. Terlebih, dia adalah putri pemuka mereka hingga mereka saling memperebutkan pengasuhan Maryam. Nabi Zakaria, nabi mereka ingin memelihara Maryam untuk istrinya yang tidak lain adalah bibi Maryam. Lantas, mereka pun mengadakan undian dan akhirnya undian itu jatuh kepada Zakaria. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Maka Dia (Allah) menerimanya dengan penerimaan yang baik, membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik dan menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakaria.” (QS. Ali Imran [3] : 37).

Zakaria lalu menempatkan Maryam di kamar khusus ibadah di masjid. Tidak ada yang dapat memasuki kamar itu, kecuali Maryam. Di kamar itulah Maryam beribadah kepada Allah, melaksanakan kewajiban untuk melayani masjid. Maryam terus beribadah, baik siang maupun malam hingga dia menjadi teladan bagi kaumnya dalam beribadah.

Nabi Isa dalam Al-Qur’an

Di dalam Al-Quran nama Isa disebutkan sebanyak 21 kali, sebutan al-Masih sebanyak 11 kali, dan sebutan Ibnu (Putra) Maryam sebanyak 23 kali.

Pada Surat Aali ‘Imran (Ali ‘Imran) [3] : ayat 59, Firman Allah SWT :

Sesungguhnya misal (penciptaan) ‘Isa di sisi AllAh, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia.

Pada Surat An-Nisaa’ (An-Nisa’) [4] : ayat 171, Firman Allah SWT :

Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, ‘Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan : “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.

Pada Surat Aali ‘Imran (Ali ‘Imran) [3] : ayat 49, Firman Allah SWT :

(Sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka): “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.

Pada Surat Maryam [19]: ayat 29-33, Firman Allah SWT :

Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: “Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?” Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”.

Pada Surat An-Nisaa’ (An-Nisa’) [4] : ayat 157-159, Firman Allah SWT :

Dan karena ucapan mereka : “Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, ‘Isa putra Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan ‘Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) ‘Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah ‘Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat ‘Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (‘Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari kiamat nanti ‘Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.

Pada Surat Al-Maaidah (Al-Maidah) [5] : ayat 110-112, Firman Allah SWT :

(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai ‘Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan ijin-Ku, kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata”. Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut ‘Isa yang setia: “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku”. Mereka menjawab: Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)”. (Ingatlah), ketika pengikut-pengikut ‘Isa berkata: “Hai ‘Isa putera Maryam, sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami ?”. ‘Isa menjawab: “Bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang yang beriman”.

Pada Surat Al-Maaidah (Al-Maidah) [5] : ayat 116-120, Firman Allah SWT :

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai ‘Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah ?”. ‘Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib”. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu”, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman: “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar”. Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Pada Surat Al-Maaidah (Al-Maidah) [5] : ayat 72-75, Firman Allah SWT :

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya ?. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu).

Pada Surat Al-Baqarah [2] : ayat 253, Firman Allah SWT :

Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada ‘Isa putera Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada diantara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.

Pada Surat An-Nisaa’ (An-Nisa’) [4] : ayat 163, Firman Allah SWT :

Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, ‘Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.

Pada Surat Al-Maaidah (Al-Maidah) [5] : ayat 46, Firman Allah SWT :

Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan ‘Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.

Pada Surat Al-An’aam (Al-An’am) [6] : ayat 85, Firman Allah SWT :

Dan Zakaria, Yahya, ‘Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang shaleh.

Pada Surat Ash-Shaaff (As-Saff) [61] : ayat 6 dan 14, Firman Allah SWT :

[61:6] Dan (ingatlah) ketika ‘Isa ibnu Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata.”
[61:14] Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana ‘Isa ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: “Kamilah penolong-penolong agama Allah”, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.

Pada Surat Aali ‘Imran (Ali ‘Imran) [3] : ayat 45, 58, dan 84, Firman Allah SWT :

[3:45] (Ingatlah), ketika Malaikat berkata: “Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih ‘Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah),
[3:84] Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yakub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, ‘Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri.”
[3:58] Demikianlah (kisah ‘Isa), Kami membacakannya kepada kamu sebagian dari bukti-bukti (kerasulannya) dan (membacakan) Al Qur’an yang penuh hikmah.

Nabi Yahya as

Published September 6, 2011 by Komunitas Voucher Elektrik

Pendahuluan
Nama Yahya bin Zakaria
Garis Keturunan Adam as ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qainan ⇒ Mahlail ⇒ Yarid ⇒ Idris as ⇒ Mutawasylah ⇒ Lamak ⇒ Nuh as ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyadz ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Azar ⇒ Ibrahim asIshaq as ⇒ Yahudza ⇒ Farish ⇒ Hashrun ⇒ Aram ⇒ Aminadab ⇒ Hasyun ⇒ Salmun ⇒ Bu’az ⇒ Uwaibid ⇒ Isya ⇒ Daud asSulaiman as ⇒ Rahab’am ⇒ Aynaman ⇒ Yahfayath ⇒ Syalum ⇒ Nahur ⇒ Bal’athah ⇒ Barkhiya ⇒ Shiddiqah ⇒ Muslim ⇒ Sulaiman ⇒ Daud ⇒ Hasyban ⇒ Shaduq ⇒ Muslim ⇒ Dan ⇒ Zakaria asYahya as
Usia 32 tahun
Periode sejarah 1 SM – 31 M
Tempat diutus (lokasi) Palestina
Jumlah keturunannya (anaknya)
Tempat wafat Damaskus
Sebutan kaumnya Bani Israil
di Al-Quran namanya disebutkan sebanyak 5 kali

Nabi Yahya (Yohanes) adalah anak Nabi Zakaria. Dalam Al-Qur’an Nabi Yahya tidak banyak diuraikan, hanya dijelaskan beliau dikaruniai hikmah dan ilmu semasa kanak-kanak. Beliau hormat pada orang tuanya, dan tidak sombong ataupun durhaka. Beliau pintar dan tajam pemikirannya, beribadah siang malam.

Di kalangan bani Israil, beliau dikenal sebagai ahli agama dan hafal Taurat. Ia berani mengambil keputusan, tidak takut dihina orang, dan tidak menghiraukan ancaman penguasa dalam usahanya menegakkan kebenaran. Ia menganjurkan orang bertobat, dan sebagai tanda, ia memandikan orang yang bertobat di sungai Jordan, yang sebenarnya adalah mandi besar, dan disebut pembaptisan dalam ajaran Kristen.

Kisah Nabi Yahya

Kisah Nabi Yahya tidak terpisahkan dengan kisah ayahnya (Nabi Zakaria). Nabi Zakaria diutus kepada bani Israil ketika kemaksiatan, kemungkaran, kezhaliman, dan kerusakan merajalela di kalangan mereka. Selain itu, raja-raja kejam serta zhalim juga berkuasa di sana dan selalu berbuat kerusakan. Herodes, penguasa Palestina adalah raja yang paling jahat dan suka melanggar. Dialah yang memerintahkan membunuh Nabi Zakaria dan Nabi Yahya.

Nabi Zakaria memulai dakwah dengan mengajak kaumnya menyembah Allah dan memperingatkan mereka tentang akibat buruknya perbuatan mereka jika tidak segera bertaubat. Meski sudah renta dan rambutnya memutih, dia terus berdakwah menyeru kaumnya. Selain itu, Nabi Zakaria juga tak pernah letih berdoa kepada Allah agar dikarunia putra yang dapat menggantikannya dalam memikul tugas dakwah ini setelah dia wafat nanti. Hal ini dikisahkan dalam firman Allah, “Dia (Zakaria) berkata “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Yakub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (QS. Maryam [19]: 4-6).

Allah lantas mengabulkan permohonannya. Sebagaimana firman-Nya, “Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.” (QS. Maryam [19]: 7).

Nabi Yahya dilahirkan tiga bulan lebih awal dari kelahiran Nabi Isa. Dia kemudia dibesarkan dan dididik oleh orang tuanya dengan kebaikan dan ketakwaan, seperti firman Allah, “Wahai Yahya, ambillah (pelajarilah) kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan, Kami berikan kepadanya (Yahya) hikmah selagi ia masih kanak-kanak” (QS. Maryam [19]: 12).

Sejak kecil, Allah telah memberinya ilmu dan hikmah dan setelah dewasa dia diangkat menjadi nabi. Nabi Yahya terkenal dengan sifatnya yang lemah lembut, penuh kasih saying, bersih, apik, dan zuhud. Selain itu, dia juga banyak menangis karena takut kepada Allah, senantiasa mengajak kaumnya bertaubat dan meninggalkan kemaksiatan, serta mengingatkan mereka tentang akibat dari pelanggaran yang mereka lakukan. Nabi Yahya membaptis umatnya dengan membasuh dosa-dosa dan kesalahan mereka di sungai Jordan (asy-Syari’ah) dan dia pula yang membaptis Nabi Isa.

Nabi Yahya meninggal karena dibunuh. Hal ini dikisahkan dalam satu riwayat bahwa pada zaman itu, salah satu raja yang terkenal jahat dan zhalim, Herodes ingin menikah dengan perempuan yang tidak halal baginya. Perempuan tersebut bernama Herodia yang tidak lain ialah keponakannya sendiri, anak perempuan saudara kandungnya.

Wanita itu sangat cantik; memiliki tubuh dan penampilan yang amat menarik. Ketika mendengar berita tersebut, Nabi Yahya spontan melarang dan menentang pernikahan itu serta mengumumkan pembatalannya. Sikap Yahya ini pun tersebar ke seluruh penjuru kota. Merasa tidak senang, wanita itu berencana membunuh Yahya. Untuk memenuhi keinginannya, Herodia bersolek menemui pamannya yang tidak lain adalah calon suaminya dengan wajah berseri-seri dan menggoda. Dia lantas menjerat Herodes dengan tipu daya hingga pamannya terlena dengan ucapannya yang lembut. Pamannya kemudian bertanya, “Apakah yang dapat aku lakukan untukmu?”

Herodia menjawab, “Jika tuanku berkenan, aku hanya menginginkan kepala Yahya bin Zakaria.”

Sang raja pun mengabulkan permintaan calon istrinya tersebut dengan mengutus seseorang untuk memenggal kepala Nabi Yahya. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih.” (QS. Ali-‘Imran [3]: 21).

Nabi Yahya dalam Al-Qur’an

Di dalam Al-Quran, nama Yahya as, disebutkan sebanyak 5 kali, seperti berikut ini.

Pada Surat Maryam [19]:ayat 7-15, Firman Allah SWT :

Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia. Zakaria berkata: “Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua”. Tuhan berfirman: “Demikianlah”. Tuhan berfirman: “Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali”. Zakaria berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda”. Tuhan berfirman: “Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat”. Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang. Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak, dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dan dosa). Dan ia adalah seorang yang bertakwa, dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka. Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.

Pada Surat Aali ‘Imran (Ali ‘Imran) [3] : ayat 39, Firman Allah SWT :

Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”.

Pada Surat Al-An’aam (Al-An’am) [6] : ayat 85, Firman Allah SWT :

Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang shaleh.

Pada Surat Al-Anbiyaa’ (Al-Anbiya’) [21] : ayat 90, Firman Allah SWT :

Maka Kami memperkenankan do’anya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.

Nabi Zakaria as

Published September 6, 2011 by Komunitas Voucher Elektrik

Pendahuluan
Nama Zakaria (Zakariya) bin Dan
Garis Keturunan Adam as ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qainan ⇒ Mahlail ⇒ Yarid ⇒ Idris as ⇒ Mutawasylah ⇒ Lamak ⇒ Nuh as ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyadz ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Azar ⇒ Ibrahim asIshaq as ⇒ Yahudza ⇒ Farish ⇒ Hashrun ⇒ Aram ⇒ Aminadab ⇒ Hasyun ⇒ Salmun ⇒ Bu’az ⇒ Uwaibid ⇒ Isya ⇒ Daud asSulaiman as ⇒ Rahab’am ⇒ Aynaman ⇒ Yahfayath ⇒ Syalum ⇒ Nahur ⇒ Bal’athah ⇒ Barkhiya ⇒ Shiddiqah ⇒ Muslim ⇒ Sulaiman ⇒ Daud ⇒ Hasyban ⇒ Shaduq ⇒ Muslim ⇒ Dan ⇒ Zakaria as
Usia 122 tahun
Periode sejarah 91 SM – 31 M
Tempat diutus (lokasi) Palestina
Jumlah keturunannya (anaknya) 1
Tempat wafat Halab (Aleppo)
Sebutan kaumnya Bani Israil
di Al-Quran namanya disebutkan sebanyak 12 kali

Pengutusan Nabi Zakaria

Nabi Zakaria diutus kepada bani Israil ketika kemaksiatan, kemungkaran, kezhaliman, dan kerusakan merajalela di kalangan mereka. Selain itu, raja-raja kejam serta zhalim juga berkuasa di sana dan selalu berbuat kerusakan. Herodes, penguasa Palestina adalah raja yang paling jahat dan suka melanggar. Dialah yang memerintahkan membunuh Nabi Zakaria dan Nabi Yahya.

Nabi Zakaria memulai dakwah dengan mengajak kaumnya menyembah Allah dan memperingatkan mereka tentang akibat buruknya perbuatan mereka jika tidak segera bertaubat. Meski sudah renta dan rambutnya memutih, dia terus berdakwah menyeru kaumnya. Selain itu, Nabi Zakaria juga tak pernah letih berdoa kepada Allah agar dikarunia putra yang dapat menggantikannya dalam memikul tugas dakwah ini setelah dia wafat nanti. Hal ini dikisahkan dalam firman Allah, “Dia (Zakaria) berkata “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Yakub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (QS. Maryam [19]: 4-6).

Allah lantas mengabulkan permohonannya. Sebagaimana firman-Nya, “Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.” (QS. Maryam [19]: 7).

Nabi Yahya dilahirkan tiga bulan lebih awal dari kelahiran Nabi Isa. Dia kemudia dibesarkan dan dididik oleh orang tuanya dengan kebaikan dan ketakwaan, seperti firman Allah, “Wahai Yahya, ambillah (pelajarilah) kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan, Kami berikan kepadanya (Yahya) hikmah selagi ia masih kanak-kanak” (QS. Maryam [19]: 12).

Sejak kecil, Allah telah memberinya ilmu dan hikmah dan setelah dewasa dia diangkat menjadi nabi. Nabi Yahya terkenal dengan sifatnya yang lemah lembut, penuh kasih saying, bersih, apik, dan zuhud. Selain itu, dia juga banyak menangis karena takut kepada Allah, senantiasa mengajak kaumnya bertaubat dan meninggalkan kemaksiatan, serta mengingatkan mereka tentang akibat dari pelanggaran yang mereka lakukan. Nabi Yahya membaptis umatnya dengan membasuh dosa-dosa dan kesalahan mereka di sungai Jordan (asy-Syari’ah) dan dia pula yang membaptis Nabi Isa.

Para sejarawan berbeda pendapat mengenai kematian Nabi Zakaria, apakah beliau wafat biasa (secara alami) atau karena dibunuh (bersamaan dengan wafatnya Nabi Yahya), wallahu a’lam. Sementara itu, mengenai Nabi Yahya, mereka sepakat bahwa beliau meninggal karena dibunuh. Hal ini dikisahkan dalam satu riwayat bahwa pada zaman itu, salah satu raja yang terkenal jahat dan zhalim, Herodes ingin menikah dengan perempuan yang tidak halal baginya. Perempuan tersebut bernama Herodia yang tidak lain ialah keponakannya sendiri, anak perempuan saudara kandungnya.

Wanita itu sangat cantik; memiliki tubuh dan penampilan yang amat menarik. Ketika mendengar berita tersebut, Nabi Yahya spontan melarang dan menentang pernikahan itu serta mengumumkan pembatalannya. Sikap Yahya ini pun tersebar ke seluruh penjuru kota. Merasa tidak senang, wanita itu berencana membunuh Yahya. Untuk memenuhi keinginannya, Herodia bersolek menemui pamannya yang tidak lain adalah calon suaminya dengan wajah berseri-seri dan menggoda. Dia lantas menjerat Herodes dengan tipu daya hingga pamannya terlena dengan ucapannya yang lembut. Pamannya kemudian bertanya, “Apakah yang dapat aku lakukan untukmu?”

Herodia menjawab, “Jika tuanku berkenan, aku hanya menginginkan kepala Yahya bin Zakaria.”

Sang raja pun mengabulkan permintaan calon istrinya tersebut dengan mengutus seseorang untuk memenggal kepala Nabi Yahya. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih.” (QS. Ali-‘Imran [3]: 21).

Riwayat Singkat Zakaria

Nabi Zakaria diutus pada kaum Bani Israil. Sudah sejak lama Nabi Zakaria mendambakan seorang anak. Namun keinginannya belum juga terpenuhi walau ia sudah tua.

Suatu hari datanglah janda Imron menyerahkan bayi perempuannya (Maryam) pada Nabi Zakaria untuk diasuh dan dibesarkan sesuai dengan nazarnya. Nabi Zakaria dan para imam Baitul Maqdis terkejut akan hal itu, sebab janda Imron sudah tua dan rasanya tidak mungkin memperoleh anak. Namun setelah mendapat penjelasan dari janda Imron bahwa kehamilannya ialah kehendak Allah SWT, mereka pun mengerti.

Setelah itu timbul persoalan, siapakah yang berhak mengurus Maryam. Untuk pemecahannya, mereka mengundi dengan melemparkan pena ke air. Barangsiapa yang penanya mengapung, dialah yang berhak mengurus Maryam. Ternyata pena Nabi Zakaria-lah yang mengapung. Sehingga beliau berhak menjadi ayah asuh Maryam. Semua kebutuhan Maryam ditanggung Nabi Zakaria. Beliau sangat menyayanginya.

Nabi Zakaria, sadar banyak anggota keluarganya dari Bani Israil merupakan orang yang tidak beradab dan gemar bermaksiat karena kedangkalan iman mereka. Ia khawatir bila tiba ajal dan tidak mempunyai keturunan yang dapat memimpin kaumnya, sehingga mereka akan semakin merajalela dan sangat mungkin mengadakan perubahan-perubahan di dalam kitab suci Taurat dan menyalahgunakan hukum agama.

Kecemasan itu mengusik pikiran Zakaria, dan ia sedih karena belum juga mempunyai keturunan walau telah berusia 90 tahun. Ia agak terhibur ketika mengasuh Maryam yang dianggap sebagai anak kandungnya sendiri. Akan tetapi rasa sedihnya dan keinginanya untuk memperoleh keturunan timbul kembali ketika ia menyaksikan mukjizat hidangan makanan di mihrab Maryam. Ia berpikir di dalam hatinya bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah. Allah yang telah memberi rezeki kepada Maryam dalam keadaan seorang diri dan tidak berdaya. Allah pasti berkuasa memberinya keturunan bila dengan kehendak-Nya walaupun usianya sudah lanjut dan rambutnya sudah penuh uban.

Pada suatu malam, Zakaria duduk di mihrabnya mengheningkan cipta kepada Allah dan bermunajat serta berdoa dengan khusyuk dan yakin. Dengan suara yang lemah lembut dia berdoa: “Ya Tuhanku, berikanlah aku seorang putera yang akan mewarisiku dan mewarisi sebagian dari keluarga Ya’qub, yang akan meneruskan pimpinan dan tuntunanku kepada Bani Israil. Aku cemas sepeninggalku nanti anggota-anggota keluargaku akan rusak kembali aqidah dan imannya bila aku tinggalkan tanpa seorang pemimpin yang akan menggantikanku. Ya Tuhanku, tulangku telah menjadi lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, sedang isteriku adalah seorang perempuan mandul. Namun kekuasaan-Mu tidak terbatas, dan aku berdoa Engkau berkenan mengkaruniakan seorang anak yang shaleh dan Engkau ridhoi padaku.

Kemudian Allah menjawab doa Zakaria dan berfirman : “Wahai Zakaria, kami sampaikan kabar gembira padamu, kamu akan mendapatkan seorang anak laki-laki bernama Yahya yang shaleh dan membenarkan kitab-kitab Allah, menjadi pemimpin yang dianut, menahan diri dari nafsu dan godaan syaitan, dan kelak akan menjadi seorang Nabi.” Kemudian Zakaria berkata: “Ya Allah, bagaimana aku dapat memperoleh keturunan sedang istriku seorang yang mandul dan akupun sudah lanjut usia.” Allah berfirman: “Hal demikian itu adalah mudah bagi-Ku. Tidakkah telah Ku-ciptakan kamu, sedangkan waktu itu kamu tidak ada sama sekali.”

Setelah itu istrinya mengandung dan melahirkan anak lelaki yang diberi nama Yahya. Seperti ayahnya, Yahya juga seorang nabi.

Pada suatu ketika Nabi Yahya terbunuh karena perintah Raja Herodus. Kaum Bani Israil berharap pada Nabi Zakaria, hal itu menyebabkan Raja Herodus marah dan memerintahkan untuk membunuh Nabi Zakaria. Nabi Zakaria sendiri langsung pergi dari kejaran prajurit Herodus.

Nabi Zakaria dalam Al-Qur’an

Di dalam Al-Quran, nama Zakaria as, disebutkan sebanyak 12 kali, seperti berikut ini.

Pada Surat Aali ‘Imran (Ali ‘Imran) [3] : ayat 37-41, Firman Allah SWT :

Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab. Di sanalah Zakaria mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendenganr do’a”. Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”. Zakaria berkata: “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak sedang aku telah sangat tua dan isteriku pun seorang yang mandul?”. Berfirman Allah: “Demikianlah, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya”. Berkata Zakaria: “Berilah aku suatu tanda (bahwa isteriku telah mengandung)”. Allah berfirman: “Tandanya bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari”.

Pada Surat Maryam [19]:ayat 2-15, Firman Allah SWT :

(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria, yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Dia (Zakaria) berkata “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Yakub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia. Zakaria berkata: “Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua”. Tuhan berfirman: “Demikianlah”. Tuhan berfirman: “Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali”. Zakaria berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda”. Tuhan berfirman: “Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat”. Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang. Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak, dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dan dosa). Dan ia adalah seorang yang bertakwa, dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka. Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.

Pada Surat Al-An’aam (Al-An’am) [6] : ayat 85, Firman Allah SWT :

Zakaria, Yahya, ‘Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang shaleh.

Pada Surat Al-Anbiyaa’ (Al-Anbiya’) [21] : ayat 89, Firman Allah SWT :

(Ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: “Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik.